Materi Bimbing Versus Proses Belajar
Materi Ajar Versus Proses Belajar. Membaca file lama wacana "Materi Ajar Versus Proses Belajar" ukiran pena Bapak Hendra Gunawan Staf Pengajar pada Jurusan Matematika di Institut Teknologi Bandung. Pada ukiran pena Bapak Hendra Gunawan tersebut, ia memberikan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan dihadapkan pada masalah mendesak yang harus segera ditangani, yaitu bagaimana merombak kurikulum dan memperbaiki proses belajar-mengajar supaya mampu mengakomodasi perkembangan tersebut. Sementara materi bimbing yang lama masih dirasakan perlu untuk diajarkan, sejumlah materi gres sekarang mencari tempatnya.
Dalam artikel tersebut dikatakan ada beberapa alternatif yang mampu dilakukan dalam upaya mengatasi masalah di atas. Yang pertama yaitu memadatkan materi ajar, yaitu menyisipkan materi gres di sela-sela materi lama, tanpa menambah jam pelajaran. Alternatif pertama ini telah dilakukan pada kurikulum nasional kita.
Alternatif kedua yaitu menggeser materi bimbing ke bawah, yaitu mengajarkan sejumlah materi lebih awal, untuk memberikan kawasan bagi materi baru. Ini pun telah dilakukan oleh sejumlah sekolah di negara kita. Membaca, menulis, dan berhitung, misalnya, sekarang ini rupanya sudah diperkenalkan sejak di taman kanak-kanak (Kompas, 12 Juli 1997).
Menambah jumlah jam pelajaran di sekolah, sehingga materi gres mampu diajarkan tanpa menggangu aktivitas pelajaran materi lama, merupakan alternatif ketiga. Sejumlah sekolah negeri unggulan dan sekolah swasta yang tergolong ‘top’ di negara kita memilih alternatif ketiga ini dengan memberikan berbagai mata pelajaran aksesori kepada muridnya, ibarat bahasa Inggris dan pengenalan komputer (Kompas, 19 Juli 1997).
Dalam alternatif pertama, kedua, ataupun ketiga, materi bimbing tampak lebih diutamakan, sementara proses belajar-mengajar cenderung terabaikan. Bila kita renungkan dengan bijak, ketiga alternatif ini bersama-sama tidak mengatasi masalah tadi, malah hanya menambah beban murid dan juga guru. Orangtua murid pun turut merasakan beban anaknya yang semakin berat, banyak di antara mereka yang mengeluh wacana hal ini.
Untuk mengatasi masalah di atas, kita seharusnya melirik alternatif lain yang mungkin mampu dilakukan tanpa menambah beban murid dan guru. Pepatah lama memberikan bahwa murid berakal bukan lantaran yaitu diajar tetapi lantaran yaitu belajar. Oleh lantaran yaitu itu, kiprah utama seorang guru seharusnya bukan mengajar tetapi membuat muridnya belajar.
Menyadari hal ini, menggantikan pengajaran gaya lama yang lebih menekankan pada penyampaian materi (transfer of knowledge) dengan pengajaran gaya gres yang lebih menekankan pada upaya membuat murid berguru (pembelajaran), merupakan alternatif keempat, yang jauh lebih baik daripada ketiga alternatif sebelumnya.
Dalam upaya membuat murid belajar, seorang guru harus memperhatikan gaya berguru (learning style) muridnya, yaitu bagaimana muridnya (mau) berguru mempelajari sesuatu. Menurut Kolb (1984), murid berguru dalam 4 (empat) gaya. Gaya berguru pertama yaitu mempertanyakan mengapa sesuatu harus dipelajari (why). Guru yang menghadapi murid dengan gaya berguru pertama ini haruslah seorang pendorong (motivator).
Gaya berguru kedua yaitu mempertanyakan apa yang sedang atau akan dipelajari (what). Dalam menangani murid dengan gaya berguru kedua ini, seorang guru tentunya harus tahu banyak (expert).
Murid yang senang mempelajari bagaimana sesuatu bekerja (how) termasuk murid yang memiliki gaya berguru ketiga. Murid demikian harus dibimbing oleh seorang guru yang mampu berperan sebagai pelatih (coach).
Gaya berguru keempat yaitu mempelajari apa yang terjadi apabila sesuatu diterapkan pada situasi konkrit tertentu (what if). Dalam hal ini seorang guru lebih baik menyingkir jauh-jauh dan menjadi pengamat saja (observer), membiarkan murid yang memiliki gaya berguru keempat ini berguru sendiri.
Dengan demikian, untuk mengajar sekian murid dalam satu kelas, dengan berbagai gaya berguru di atas, diperlukan seorang guru yang pendorong, tahu banyak, pelatih, dan sekaligus pengamat yang baik. Guru ibarat itu yaitu seorang fasilitator bagi muridnya dalam belajar. Satu aspek saja tidak dipenuhi oleh si guru, sejumlah murid akan menjadi bosan dan kemudian tidak belajar.
Lalu bagaimana dengan materi bimbing yang kian bertambah banyak itu? Dibandingkan dengan proses bagaimana murid belajar, materi bimbing menjadi tidak terlalu penting. Setidaknya ada dua alasan untuk itu.
Yang pertama, mustahil seorang guru mampu mengajarkan seluruh materi yang kian bertambah banyak dalam waktu yang terbatas. Matematika, misalnya, yang telah berusia ribuan tahun dan masih berkembang dengan pesat sampai sekarang ini, mustahil diajarkan seluruhnya kepada seorang murid dalam waktu 23 tahun (dari taman kanak-kanak sampai aktivitas doktor).
Yang kedua, seorang pakar sekalipun tidak akan pernah tuntas menguasai materi dalam bidangnya, senantiasa ada sesuatu yang perlu dipelajari (lagi) lantaran yaitu lupa atau belum tahu. Jadi, yang lebih penting yaitu proses bagaimana mempelajari suatu materi, bukannya materi yang sedang dipelajari.
Seorang murid yang telah mampu mengembangkan gaya berguru yang dimilikinya (paling manis jikalau ia memiliki keempat-empatnya) akan berguru sendiri dan mampu memutuskan sendiri materi apa yang perlu dipelajarinya. Bila ini terjadi, kiprah seorang guru ---yakni membuat muridnya belajar--- mampu dikatakan selesai.
Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
Dalam artikel tersebut dikatakan ada beberapa alternatif yang mampu dilakukan dalam upaya mengatasi masalah di atas. Yang pertama yaitu memadatkan materi ajar, yaitu menyisipkan materi gres di sela-sela materi lama, tanpa menambah jam pelajaran. Alternatif pertama ini telah dilakukan pada kurikulum nasional kita.
Alternatif kedua yaitu menggeser materi bimbing ke bawah, yaitu mengajarkan sejumlah materi lebih awal, untuk memberikan kawasan bagi materi baru. Ini pun telah dilakukan oleh sejumlah sekolah di negara kita. Membaca, menulis, dan berhitung, misalnya, sekarang ini rupanya sudah diperkenalkan sejak di taman kanak-kanak (Kompas, 12 Juli 1997).
Menambah jumlah jam pelajaran di sekolah, sehingga materi gres mampu diajarkan tanpa menggangu aktivitas pelajaran materi lama, merupakan alternatif ketiga. Sejumlah sekolah negeri unggulan dan sekolah swasta yang tergolong ‘top’ di negara kita memilih alternatif ketiga ini dengan memberikan berbagai mata pelajaran aksesori kepada muridnya, ibarat bahasa Inggris dan pengenalan komputer (Kompas, 19 Juli 1997).
Dalam alternatif pertama, kedua, ataupun ketiga, materi bimbing tampak lebih diutamakan, sementara proses belajar-mengajar cenderung terabaikan. Bila kita renungkan dengan bijak, ketiga alternatif ini bersama-sama tidak mengatasi masalah tadi, malah hanya menambah beban murid dan juga guru. Orangtua murid pun turut merasakan beban anaknya yang semakin berat, banyak di antara mereka yang mengeluh wacana hal ini.
Untuk mengatasi masalah di atas, kita seharusnya melirik alternatif lain yang mungkin mampu dilakukan tanpa menambah beban murid dan guru. Pepatah lama memberikan bahwa murid berakal bukan lantaran yaitu diajar tetapi lantaran yaitu belajar. Oleh lantaran yaitu itu, kiprah utama seorang guru seharusnya bukan mengajar tetapi membuat muridnya belajar.
Menyadari hal ini, menggantikan pengajaran gaya lama yang lebih menekankan pada penyampaian materi (transfer of knowledge) dengan pengajaran gaya gres yang lebih menekankan pada upaya membuat murid berguru (pembelajaran), merupakan alternatif keempat, yang jauh lebih baik daripada ketiga alternatif sebelumnya.
Dalam upaya membuat murid belajar, seorang guru harus memperhatikan gaya berguru (learning style) muridnya, yaitu bagaimana muridnya (mau) berguru mempelajari sesuatu. Menurut Kolb (1984), murid berguru dalam 4 (empat) gaya. Gaya berguru pertama yaitu mempertanyakan mengapa sesuatu harus dipelajari (why). Guru yang menghadapi murid dengan gaya berguru pertama ini haruslah seorang pendorong (motivator).
Gaya berguru kedua yaitu mempertanyakan apa yang sedang atau akan dipelajari (what). Dalam menangani murid dengan gaya berguru kedua ini, seorang guru tentunya harus tahu banyak (expert).
Murid yang senang mempelajari bagaimana sesuatu bekerja (how) termasuk murid yang memiliki gaya berguru ketiga. Murid demikian harus dibimbing oleh seorang guru yang mampu berperan sebagai pelatih (coach).
Gaya berguru keempat yaitu mempelajari apa yang terjadi apabila sesuatu diterapkan pada situasi konkrit tertentu (what if). Dalam hal ini seorang guru lebih baik menyingkir jauh-jauh dan menjadi pengamat saja (observer), membiarkan murid yang memiliki gaya berguru keempat ini berguru sendiri.
Dengan demikian, untuk mengajar sekian murid dalam satu kelas, dengan berbagai gaya berguru di atas, diperlukan seorang guru yang pendorong, tahu banyak, pelatih, dan sekaligus pengamat yang baik. Guru ibarat itu yaitu seorang fasilitator bagi muridnya dalam belajar. Satu aspek saja tidak dipenuhi oleh si guru, sejumlah murid akan menjadi bosan dan kemudian tidak belajar.
Lalu bagaimana dengan materi bimbing yang kian bertambah banyak itu? Dibandingkan dengan proses bagaimana murid belajar, materi bimbing menjadi tidak terlalu penting. Setidaknya ada dua alasan untuk itu.
Yang pertama, mustahil seorang guru mampu mengajarkan seluruh materi yang kian bertambah banyak dalam waktu yang terbatas. Matematika, misalnya, yang telah berusia ribuan tahun dan masih berkembang dengan pesat sampai sekarang ini, mustahil diajarkan seluruhnya kepada seorang murid dalam waktu 23 tahun (dari taman kanak-kanak sampai aktivitas doktor).
Yang kedua, seorang pakar sekalipun tidak akan pernah tuntas menguasai materi dalam bidangnya, senantiasa ada sesuatu yang perlu dipelajari (lagi) lantaran yaitu lupa atau belum tahu. Jadi, yang lebih penting yaitu proses bagaimana mempelajari suatu materi, bukannya materi yang sedang dipelajari.
Seorang murid yang telah mampu mengembangkan gaya berguru yang dimilikinya (paling manis jikalau ia memiliki keempat-empatnya) akan berguru sendiri dan mampu memutuskan sendiri materi apa yang perlu dipelajarinya. Bila ini terjadi, kiprah seorang guru ---yakni membuat muridnya belajar--- mampu dikatakan selesai.
Hendra Gunawan, Lahir di Bandung pada tahun 1964, yaitu seorang matematikawan. Beliau menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung sejak tahun 1988 dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang Matematika dari University of New South Wales Sydney, pada tahun 1992. Selain sering menulis di media massa, ia juga mengasuh beberapa blog untuk memopulerkan matematika dan sains, antara lain indonesia2045.com | anakbertanya.com | bersains.wordpress.com | bermatematika.net/
Update: Beberapa waktu kemudian Bapak Hendra Gunawan diwawancarai secara pribadi oleh Jawa Pos TV dalam aktivitas "Bermatematika Bersama Guru Besar Matematika ITB". Mari kita simak hasil wawancaranya secara langsung;
Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
Belum ada Komentar untuk "Materi Bimbing Versus Proses Belajar"
Posting Komentar