Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Aksara Anak Bangsa
Untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional kali ini saya sendiri bingung mau nulis apa, soalnya saya bingung tentang sistem pendidikan di Indonesia ini. Baca surat kabar hari ini, surat kabar banyak membicarakan polemik pendidikan dan Ujian Nasional.
Karena masih bingung saya coba mengembangkan gesekan pena di Hari Pendidikan Nasional yaitu tentang 'Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa'
Pada zaman orde baru saat mulut mayoritas penataran P4 untuk pelajar SMP sampai mahasiswa perguruan tinggi negeri maupun swasta, juga PNS di semua lembaga di negeri ini, para penatar Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) dengan bangga menyebutkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia, kita memiliki tiga macam modal dasar yakni sumber daya alam (SDA) yang melimpah, daerah/wilayah tanah air yang amat luas, mulai dari Sabang sampai Merauke di Irian Jaya dan jumlah penduduk yang besar (lebih dua ratus juta jiwa). Pada waktu itu semua penerima penataran meng-amin-kan, tak seorangpun yang membantah.
Namun setelah ditunggu dalam kurun waktu yang cukup lama kemakmuran itu tak kunjung datang, entah kemana perginya. Bahkan yang muncul yaitu krisis moneter, krisis ekonomi, berlanjut krisis multi dimensi (1997-1998) kemudian di kurun globalisasi remaja ini muncul pula krisis global. Ya, krisis dan krisis lagi, kemakmuran ternyata masih jauh dari harapan. Namun kita tidak boleh putus asa. Bukankah setiap orang punya potensi/bakat/kemampuan.
Jadikan krisis sebagai tantangan sekaligus peluang. "Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bangsa-bangsa besar dibentuk oleh ancaman dan krisis. Contohnya Jepang, Korea Utara, Negara-Negara Eropa dan AS serta Israel. Tanpa krisis kita akan menjadi bangsa yang malas,.... tak berinisiatif, jadinya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya. [2]
Pertanyaan yang muncul yaitu apa yang salah di negeri tercinta ini?
Ekonomikah? Atau kualitas SDM yang rendah, sehingga tidak bisa mengolah sumber daya alamnya luas dan kaya ?
Namun mereka hanya sebahagian kecil dari jutaan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu untuk bekal masa depan yang penuh tantangan.
Sekarang mari kita lihat gaya hidup anak-anak kita pada kurun digital atau pada jaman imperilisme budaya remaja ini.
Tingginya tingkat kriminalitas anak-anak dan remaja, mengakibatkan jumlah mereka yang masuk penjara remaja ini lebih dari satu juta orang.[3]
Dari 13 penjara yang pernah dikunjungi Meutia Hatta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, memberikan 80 persen penyebab mereka ditahan yaitu alasannya yaitu pencabulan dan pelecehan seksual. Data di RSCM Jakarta, kekerasan seksual yang menimpa anak-anak usia dibawah 18 tahun sejak Juni 2000 sampai Juni 2005 mencapai 1200 kasus, pencabulan anak laki-laki 68 kasus. Korban umumnya dibawah usia 16 tahun,belum ngerti perilaku seksual. Survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 terdapat lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, telah mengakses situs porno. Kasus aborsi di Indonesia 2,2 juta tiap tahun atau setiap 15 detik seorang calon bayi di negeri ini meninggal dunia.
Televisi juga mengancam sekitar 60 juta anak Indonesia. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak tahun 2002 di Jakarta menemukan anak-anak menghabiskan sekitar 30-35 jam di depan TV selama seminggu atau setahun 1560-1820 jam, angka ini jauh lebih besar dari jam mencar ilmu anak di SD yang tidak sampai 1000 jam setahun. Apa yang mereka tonton? Ya, tayangan yang menampilkan ketelanjangan dan ataupun yang mengesankan ketelanjangan. [4]
Mau referensi lagi? Banyak anak dan remaja kini tidak merasa bersalah jikalau berbohong, membohongi ortu/guru, rendah rasa hormat kepada ortu dan guru, pecandu narkoba dan minuman keras, sering absen sekolah, tidak mengerjakan PR, memalak teman sekelas, dan sebagainya.
Kalau dikaji lebih lanjut, ya, lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal yang utama seharusnya bertanggung jawab dalam hal membentuk, membimbing dan mendidik SDM yang tangguh dan unggul sekaligus punya abjad yang kuat.
Berdasarkan potret singkat tingkah polah anak-anak dan remaja kita remaja ini, banyak kalangan yang mengeritik dan menilai pemerintah gagal dalam membentuk watak/karakter dan etika anak bangsa remaja ini.
Mengapa Gagal?
Mendidik bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kesannya baru tertangkap berair setelah 20 tahun mendatang. Ya, pendidikan memang investasi jangka panjang. Setelah 20 tahun berlalu baru orang renta melihat bahwa anaknya sudah jadi “orang”, ya, sudah jadi menteri atau gubernur di propinsi A. Namun diantara anak-anak itu ada juga yang tidak berhasil atau gagal, dia cuma jadi “orang-orangan”.
Mengacu kepada Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 1, pendidikan disebut sebagai berikut : Pendidikan yaitu usaha sadar dan terjadwal untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran agar penerima didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, watak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya,masyarakat, bangsa, dan negara.
Sekurang-kurangnya, masyarakat berharap agar pendidikan menawarkan mereka bekal untuk hidup dan bisa menghadapi tantangan zaman. Karena di kurun persaingan yang ketat kini ini, banyak orang renta berharap agar anaknya memperoleh prestasi akademik yang tinggi, menguasai ilmu yang menyeluruh (IPTEK) sehingga terjamin sukses dalam kehidupannya. Ya, mungkin kayaknya superman; -Oh,oh.
Ya, begitulah, lihatlah betapa kurikulum SD sampai SMA dirancang begitu padat. Padahal hasil penelitian Daniel Goleman (pakar Psikologi Pendidikan, AS) menemukan bahwa keberhasilan seseorang bukan ditentukan semata-mata oleh prestasi akademik (IQ) yang cuma 20 persen sedang penentu utama kesuksesan yaitu kecerdasan emosi (EQ) sebanyak 80 persen.
Namun sampai kini pendidikan kita masih mengutamakan kecerdasan intelektual/IQ atau kognitif. Sehingga pembentukan/pengembangan kepribadian atau watak dan abjad anak sebagai variabel utama pendidikan belum jadi prioritas.[1]
Ratna Megawangi pakar pendidikan abjad berkomentar: “sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal jikalau potensi (IQ) siswa yang hanya 90 atau 100 diberikan pelajaran pemanis apapun, tidak akan bisa meningkat sampai 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka bisa dan trampil bekerja secara proporsional,mencintai pekerjaan dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.”
Sejatinya kecerdasan otak yang dibarengi dengan pelatihan abjad yaitu tujuan utama pendidikan. Lihatlah Jepang, Korea dan Taiwan yang menawarkan prioritas pendidikan abjad kepada SDM-nya, memiliki etos kerja tinggi, hemat dan mau “bersusah-susah” dulu untuk “membangun istana masa depan”. Mereka terkenal sebagai negara produsen yang handal dan berkarakter tinggi. [5]
Saya menyadari judul gesekan pena ini memang bersifat debatable alasannya yaitu tidak semua orang bisa menerimanya. Hemat saya komunitas pendidik termasuk orang renta perlu introspeksi. Apakah selama ini kita sudah melaksanakan tugas-tugas edukatif tidak hanya sebatas mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing serta memotivasi dan menawarkan referensi teladan. Pengetahuan memang penting, namun pembentukan watak, kepribadian sehat yang dibekali anutan agama juga tidak kalah pentingnya.
Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang alasannya yaitu sesungguhnya anak yaitu amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab bekerjasama mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik.
[1]H.M.Farid Nasution,MA, Harian Analisa
[2] Rhenald Kasali, Kompas, 4 April 2009,
[3] Harry Hikmat,Direktur Anak Depsos, Waspada, 11 Maret 2009,
[4] Sabili, No.08, 6 Nopember 2008,
[5] Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, 2004, h.12.
Video pilihan khusus untuk Anda, Matematika Dapat Mempengaruhi Karakter Kita;
Karena masih bingung saya coba mengembangkan gesekan pena di Hari Pendidikan Nasional yaitu tentang 'Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa'
Pada zaman orde baru saat mulut mayoritas penataran P4 untuk pelajar SMP sampai mahasiswa perguruan tinggi negeri maupun swasta, juga PNS di semua lembaga di negeri ini, para penatar Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) dengan bangga menyebutkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia, kita memiliki tiga macam modal dasar yakni sumber daya alam (SDA) yang melimpah, daerah/wilayah tanah air yang amat luas, mulai dari Sabang sampai Merauke di Irian Jaya dan jumlah penduduk yang besar (lebih dua ratus juta jiwa). Pada waktu itu semua penerima penataran meng-amin-kan, tak seorangpun yang membantah.
Namun setelah ditunggu dalam kurun waktu yang cukup lama kemakmuran itu tak kunjung datang, entah kemana perginya. Bahkan yang muncul yaitu krisis moneter, krisis ekonomi, berlanjut krisis multi dimensi (1997-1998) kemudian di kurun globalisasi remaja ini muncul pula krisis global. Ya, krisis dan krisis lagi, kemakmuran ternyata masih jauh dari harapan. Namun kita tidak boleh putus asa. Bukankah setiap orang punya potensi/bakat/kemampuan.
Jadikan krisis sebagai tantangan sekaligus peluang. "Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bangsa-bangsa besar dibentuk oleh ancaman dan krisis. Contohnya Jepang, Korea Utara, Negara-Negara Eropa dan AS serta Israel. Tanpa krisis kita akan menjadi bangsa yang malas,.... tak berinisiatif, jadinya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya. [2]
Pertanyaan yang muncul yaitu apa yang salah di negeri tercinta ini?
Ekonomikah? Atau kualitas SDM yang rendah, sehingga tidak bisa mengolah sumber daya alamnya luas dan kaya ?
Gagal
Tampaknya sampai saat ini pendidikan nasional belum bisa meningkatkan kualitas SDM kita. Memang diakui ada beberapa orang pelajar Indonesia yang berhasil meraih medali emas dalam kompetisi Internasional ibarat Andhika Tangguh Pradana, siswa kelas IX SMP Al-Azhar Jakarta, peraih medali emas International Junior Science Olympiad (IJSO) ke 5 di Gyeyongnam,Korea Selatan (2008), Muhammad Lutfi Nur Fakhri (14), siswa kelas VIII SMPIT Ummul Quro, Bogor, peraih medali emas pada International Exhibition for Young Inventor di Taiwan, Aulya Miftahurrahmah (14), kelas VII SMPN 1, Bantul, Yogjakarta Peringkat Empat Besar Kompetisi Roket Air tingkat Pelajar se ASEAN di Hanoi, Vietnam (2008), Zefrijal Nanda Mardani (15) siswa kelas IX SMP N I Trenggalek, Jawa Timur, peraih medali emas Olympiade Astronomi Internasional di Ukrania (2007) dan peraih medali perunggu untuk olympiade serupa di Italia. Tentu kita bangga atas prestasi yang dicapai anak-anak kita tersebut yang menciptakan harum bangsa Indonesia.Namun mereka hanya sebahagian kecil dari jutaan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu untuk bekal masa depan yang penuh tantangan.
Sekarang mari kita lihat gaya hidup anak-anak kita pada kurun digital atau pada jaman imperilisme budaya remaja ini.
Tingginya tingkat kriminalitas anak-anak dan remaja, mengakibatkan jumlah mereka yang masuk penjara remaja ini lebih dari satu juta orang.[3]
Dari 13 penjara yang pernah dikunjungi Meutia Hatta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, memberikan 80 persen penyebab mereka ditahan yaitu alasannya yaitu pencabulan dan pelecehan seksual. Data di RSCM Jakarta, kekerasan seksual yang menimpa anak-anak usia dibawah 18 tahun sejak Juni 2000 sampai Juni 2005 mencapai 1200 kasus, pencabulan anak laki-laki 68 kasus. Korban umumnya dibawah usia 16 tahun,belum ngerti perilaku seksual. Survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 terdapat lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, telah mengakses situs porno. Kasus aborsi di Indonesia 2,2 juta tiap tahun atau setiap 15 detik seorang calon bayi di negeri ini meninggal dunia.
Televisi juga mengancam sekitar 60 juta anak Indonesia. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak tahun 2002 di Jakarta menemukan anak-anak menghabiskan sekitar 30-35 jam di depan TV selama seminggu atau setahun 1560-1820 jam, angka ini jauh lebih besar dari jam mencar ilmu anak di SD yang tidak sampai 1000 jam setahun. Apa yang mereka tonton? Ya, tayangan yang menampilkan ketelanjangan dan ataupun yang mengesankan ketelanjangan. [4]
Mau referensi lagi? Banyak anak dan remaja kini tidak merasa bersalah jikalau berbohong, membohongi ortu/guru, rendah rasa hormat kepada ortu dan guru, pecandu narkoba dan minuman keras, sering absen sekolah, tidak mengerjakan PR, memalak teman sekelas, dan sebagainya.
Kalau dikaji lebih lanjut, ya, lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal yang utama seharusnya bertanggung jawab dalam hal membentuk, membimbing dan mendidik SDM yang tangguh dan unggul sekaligus punya abjad yang kuat.
Berdasarkan potret singkat tingkah polah anak-anak dan remaja kita remaja ini, banyak kalangan yang mengeritik dan menilai pemerintah gagal dalam membentuk watak/karakter dan etika anak bangsa remaja ini.
Mengapa Gagal?
Mendidik bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kesannya baru tertangkap berair setelah 20 tahun mendatang. Ya, pendidikan memang investasi jangka panjang. Setelah 20 tahun berlalu baru orang renta melihat bahwa anaknya sudah jadi “orang”, ya, sudah jadi menteri atau gubernur di propinsi A. Namun diantara anak-anak itu ada juga yang tidak berhasil atau gagal, dia cuma jadi “orang-orangan”.
Mengacu kepada Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 1, pendidikan disebut sebagai berikut : Pendidikan yaitu usaha sadar dan terjadwal untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran agar penerima didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, watak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya,masyarakat, bangsa, dan negara.
Sekurang-kurangnya, masyarakat berharap agar pendidikan menawarkan mereka bekal untuk hidup dan bisa menghadapi tantangan zaman. Karena di kurun persaingan yang ketat kini ini, banyak orang renta berharap agar anaknya memperoleh prestasi akademik yang tinggi, menguasai ilmu yang menyeluruh (IPTEK) sehingga terjamin sukses dalam kehidupannya. Ya, mungkin kayaknya superman; -Oh,oh.
Ya, begitulah, lihatlah betapa kurikulum SD sampai SMA dirancang begitu padat. Padahal hasil penelitian Daniel Goleman (pakar Psikologi Pendidikan, AS) menemukan bahwa keberhasilan seseorang bukan ditentukan semata-mata oleh prestasi akademik (IQ) yang cuma 20 persen sedang penentu utama kesuksesan yaitu kecerdasan emosi (EQ) sebanyak 80 persen.
Namun sampai kini pendidikan kita masih mengutamakan kecerdasan intelektual/IQ atau kognitif. Sehingga pembentukan/pengembangan kepribadian atau watak dan abjad anak sebagai variabel utama pendidikan belum jadi prioritas.[1]
Ratna Megawangi pakar pendidikan abjad berkomentar: “sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal jikalau potensi (IQ) siswa yang hanya 90 atau 100 diberikan pelajaran pemanis apapun, tidak akan bisa meningkat sampai 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka bisa dan trampil bekerja secara proporsional,mencintai pekerjaan dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.”
Sejatinya kecerdasan otak yang dibarengi dengan pelatihan abjad yaitu tujuan utama pendidikan. Lihatlah Jepang, Korea dan Taiwan yang menawarkan prioritas pendidikan abjad kepada SDM-nya, memiliki etos kerja tinggi, hemat dan mau “bersusah-susah” dulu untuk “membangun istana masa depan”. Mereka terkenal sebagai negara produsen yang handal dan berkarakter tinggi. [5]
Saya menyadari judul gesekan pena ini memang bersifat debatable alasannya yaitu tidak semua orang bisa menerimanya. Hemat saya komunitas pendidik termasuk orang renta perlu introspeksi. Apakah selama ini kita sudah melaksanakan tugas-tugas edukatif tidak hanya sebatas mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing serta memotivasi dan menawarkan referensi teladan. Pengetahuan memang penting, namun pembentukan watak, kepribadian sehat yang dibekali anutan agama juga tidak kalah pentingnya.
Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang alasannya yaitu sesungguhnya anak yaitu amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab bekerjasama mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik.
[1]H.M.Farid Nasution,MA, Harian Analisa
[2] Rhenald Kasali, Kompas, 4 April 2009,
[3] Harry Hikmat,Direktur Anak Depsos, Waspada, 11 Maret 2009,
[4] Sabili, No.08, 6 Nopember 2008,
[5] Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, 2004, h.12.
Video pilihan khusus untuk Anda, Matematika Dapat Mempengaruhi Karakter Kita;
Belum ada Komentar untuk "Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Aksara Anak Bangsa"
Posting Komentar