Guru Matematikaku Motivatorku
Sepuluh tahun silam ia guru yang tidak saya senangi. Rasa tidak senang itu muncul dikala kakiku melangkah menuju gerbang sekolah. Bukankah ia guru yang baik?
Bila esok pagi ada pelajaran Matematika malam seakan mencekik semangatku. Yang ada dibenakku hanyalah perasaan malas, malas, dan malas! Pasti saya ditunjuk oleh guruku untuk mengerjakan soal-soal latihan. SEBEL! Semenjak itu saya tak senang dengan pelajaran Matematika.
Kalau sanggup sich no problem. Kalau tidak…? Menjadi beban dalam hidupku. “Lesu saya karena mengeluh, setiap malam saya menggenangi daerah tidurku, dengan air mataku saya membanjiri ranjangku” (Maz 6:27). Apakah karena guruku?.
Aku sungguh tersiksa bila tidak sanggup mengerjakan soal itu. Jari telunjukku mulai beraksi menunjuk sobat untuk membantu. Mengapa bel tak kunjung terdengar?. Yang kunantikan hanyalah bel tanda istirahat atau ganti jam pelajaran. Dan sesudah itu saya akan menikmati kebebasan.
Di mataku ia guru yang sabar. Cara mengajarnya menarik. Mengajari muridnya dari kursi yang satu ke kursi yang lain. Setelah kusadari yang membuatku tidak senang karena mendapatkan nilai merah. Saat itu saya hanya sanggup menyalahkan guruku. Meratapi nilai itu dengan sebuah pertanyaan “apa sih susahnya memberi nilai belas kasihan toh tidak dosa, justru mendapatkan berkat karena sudah menolong dan membahagiakan orang lain”. Pikiranku sudah diplot ia itu guru yang paling pelit!
Sebagai murid yang kuharapkan adalah nilai yang bagus. Dan itu dulu menjadi kebanggaanku, apa lagi seluruh biaya hidup dan sekolahku ditanggung oleh orang renta angkatku. Begitu malu kudapati nilai merah dalam raportku.
Bulan November kemudian saya bertemu dengan guruku. Tidak banyak yang berubah sesudah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Hanya kaca matanya saja yang semakin menebal.
”Lho kok kamu ada di sini”
”Iya... sudah sejak Agustus lalu” jawabku!
Aku dan guruku mulai bertanya kabar dan keadaan. Mungkin guruku heran mendengar sharingku bahwa saya sekarang memasuki tahun yuniorat ke dua. Aku merasa malu dengan guruku karena dulu sering membuat ulah. Dan jikalau di suruh mengerjakan tugas-tugas ga pernah tuntas. Setelah guruku Matematika tidak mengajar lagi saya tak pernah kontak atau berkirim surat padanya.
Guruku itu tidaklah salah. Dia mengatakan nilai berdasarkan prestasiku. Melalui guruku itu, Tuhan telah mengatakan iman kepadaku untuk mengembangkan talenta yang kumiliki.
Guruku mengajari mirip kisah seorang hamba yang mendapatkan lima talenta dari Tuannya.“Tuan, inilah lima talenta yang pernah tuan percayakan kepadaku. Lihatlah, saya sudah memperoleh keuntungan sebanyak lima talenta juga [Mat 25:20] Guruku mengajari untuk bertanggungjawab dan setia untuk belajar. Aku telah terikat oleh pikiran burukku sendiri.
Guruku itu namanya FIRMINE, ia adalah seorang suster yang setia dan sederhana. Saat ini ia bertugas di Sumatera Selatan. Dan sore itu suster Firmine final menjalani retret mediornya.
“Suster kapan kembali ke Sumatera?” tanyaku kepadanya.
“Nanti sore pukul 18.30”
Sepertinya perjumpaanku dengannya akan ditutup lebih cepat oleh waktu. Malam sesaat lagi akan memeluk bumi, dan saya hanya sanggup membayangkan suster kedinginan di dalam mobil berAC. Sore itu, saya sempat mangantarnya ke Terminal Tingkir Salatiga. Guruku itu kurasakan sangat jauh di mata, tetapi tidak jauh dihati [1 Tes 2:17]
[Guru Matematikaku Motivatorku | Saduran dari: ROHANI, edisi Maret 2008, Oleh:Justinus Juadi FIC]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 video guru yang super kreatif ini, mengerjakan perkalian jadi kreatif;
Bila esok pagi ada pelajaran Matematika malam seakan mencekik semangatku. Yang ada dibenakku hanyalah perasaan malas, malas, dan malas! Pasti saya ditunjuk oleh guruku untuk mengerjakan soal-soal latihan. SEBEL! Semenjak itu saya tak senang dengan pelajaran Matematika.
Kalau sanggup sich no problem. Kalau tidak…? Menjadi beban dalam hidupku. “Lesu saya karena mengeluh, setiap malam saya menggenangi daerah tidurku, dengan air mataku saya membanjiri ranjangku” (Maz 6:27). Apakah karena guruku?.
Aku sungguh tersiksa bila tidak sanggup mengerjakan soal itu. Jari telunjukku mulai beraksi menunjuk sobat untuk membantu. Mengapa bel tak kunjung terdengar?. Yang kunantikan hanyalah bel tanda istirahat atau ganti jam pelajaran. Dan sesudah itu saya akan menikmati kebebasan.
Di mataku ia guru yang sabar. Cara mengajarnya menarik. Mengajari muridnya dari kursi yang satu ke kursi yang lain. Setelah kusadari yang membuatku tidak senang karena mendapatkan nilai merah. Saat itu saya hanya sanggup menyalahkan guruku. Meratapi nilai itu dengan sebuah pertanyaan “apa sih susahnya memberi nilai belas kasihan toh tidak dosa, justru mendapatkan berkat karena sudah menolong dan membahagiakan orang lain”. Pikiranku sudah diplot ia itu guru yang paling pelit!
Sebagai murid yang kuharapkan adalah nilai yang bagus. Dan itu dulu menjadi kebanggaanku, apa lagi seluruh biaya hidup dan sekolahku ditanggung oleh orang renta angkatku. Begitu malu kudapati nilai merah dalam raportku.
Bulan November kemudian saya bertemu dengan guruku. Tidak banyak yang berubah sesudah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Hanya kaca matanya saja yang semakin menebal.
”Lho kok kamu ada di sini”
”Iya... sudah sejak Agustus lalu” jawabku!
Aku dan guruku mulai bertanya kabar dan keadaan. Mungkin guruku heran mendengar sharingku bahwa saya sekarang memasuki tahun yuniorat ke dua. Aku merasa malu dengan guruku karena dulu sering membuat ulah. Dan jikalau di suruh mengerjakan tugas-tugas ga pernah tuntas. Setelah guruku Matematika tidak mengajar lagi saya tak pernah kontak atau berkirim surat padanya.
Guruku itu tidaklah salah. Dia mengatakan nilai berdasarkan prestasiku. Melalui guruku itu, Tuhan telah mengatakan iman kepadaku untuk mengembangkan talenta yang kumiliki.
Guruku mengajari mirip kisah seorang hamba yang mendapatkan lima talenta dari Tuannya.“Tuan, inilah lima talenta yang pernah tuan percayakan kepadaku. Lihatlah, saya sudah memperoleh keuntungan sebanyak lima talenta juga [Mat 25:20] Guruku mengajari untuk bertanggungjawab dan setia untuk belajar. Aku telah terikat oleh pikiran burukku sendiri.
Guruku itu namanya FIRMINE, ia adalah seorang suster yang setia dan sederhana. Saat ini ia bertugas di Sumatera Selatan. Dan sore itu suster Firmine final menjalani retret mediornya.
“Suster kapan kembali ke Sumatera?” tanyaku kepadanya.
“Nanti sore pukul 18.30”
Sepertinya perjumpaanku dengannya akan ditutup lebih cepat oleh waktu. Malam sesaat lagi akan memeluk bumi, dan saya hanya sanggup membayangkan suster kedinginan di dalam mobil berAC. Sore itu, saya sempat mangantarnya ke Terminal Tingkir Salatiga. Guruku itu kurasakan sangat jauh di mata, tetapi tidak jauh dihati [1 Tes 2:17]
Tugas guru bukan hanya mengajar dan memberi nilai. Dia bagaikan lilin yang kecil, sanggup mengatakan jelas di ruangan yang gelap. Pengabdianmu tulus. Tak kenal lelah, dan pantang menyerah. Tugas guru memang berat, tetapi seribu berkat akan didapat. Terima kasih guruku, kaulah motivator dalam hidupku.
[Guru Matematikaku Motivatorku | Saduran dari: ROHANI, edisi Maret 2008, Oleh:Justinus Juadi FIC]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 video guru yang super kreatif ini, mengerjakan perkalian jadi kreatif;
Belum ada Komentar untuk "Guru Matematikaku Motivatorku"
Posting Komentar