Tak Sempurna: Sebuah Novel
Sejak pertangahan 2012, saya dan Bondan Prakoso & Fade2Black (Bondan, Tito, Eza, dan Arie) berencana membuka awal tahun 2013 dengan karya baru: Sebuah novel kerja sama fiksi-musikal berjudul Tak Sempurna. Kenyataannya, mengerjakan karya ini tak semudah yang dibayangkan. Kami gagal menyajikannya tepat di awal tahun. Sebab ternyata kami memerlukan waktu lebih untuk sejumlah riset, diskusi panjang, dan persiapan-persiapan penting lainnya. Di tengah kesibukan masing-masing, kami terus berkonsentrasi pada karya ini, kami ingin karya ini “maksimal”, meski kami juga tahu sulit menjadikannya “sempurna”. Syukurlah kini semuanya sudah selesai; Tinggal selangkah lagi, novel itu akan segera rilis pada Februari 2013.
Ada yang istimewa dalam perjalanan kami mengerjakan karya ini. Kami mengerjakannya dengan spirit yang lebih kuat, juga dengan visi yang lebih sejalan. Mungkin lantaran ialah kekerabatan kami sudah menjadi lebih matang lagi, bukan sekadar saling kenal. Kami berjalan beriringan sebagai teman, atau sahabat, dalam pengertian yang sesungguhnya. Kami tidak hanya berhubungan dalam hal kreativitas, tapi hingga hal-hal lain yang lebih personal. Misalnya, di sela-sela diskusi, kami mampu bercerita wacana keluarga, anak-anak, repotnya mengurus rumah, atau curhat soal duduk perkara masing-masing. Yang lebih istimewa, kedekatan itu merambat ke aspek yang lebih kompleks dalam kehidupan masing-masing kami: Menyenangkan mengetahui bahwa istri kami juga jadi saling kenal, anak-anak kami bertemu dan bermain, dan lebih banyak lagi. Jangan tanya soal Eza, dia memang belum menikah, tapi tentu jadi Om paling keren bagi anak-anak kami.
Dua setengah tahun kemudian dikala mulai mengerjakan Hidup Berawal Dari Mimpi (HBDM), kami gres saling mengenal. Sejujurnya, proses kreatif dilakukan dengan nuansa yang agak rikuh. Sebagai seniman yang berkarya di dua wilayah yang berbeda, kami masih saling membaca satu sama lain, scanning. Tapi syukurlah ternyata HBDM menjadi pembuka yang manis untuk proyek-proyek kreativitas kami berikutnya. Dengan aneka macam kekurangannya, buku itu diterima dengan baik di tengah-tengah masyarakat, menjadi best-seller di toko-toko buku besar, membuat kami besar hati dan tersenyum lebar. Ini rahasia: HBDM bahu-membahu belum menggambarkan gagasan dan perasaan kami seutuhnya—ia hanya kepingan-kepingan cermin yang merefleksikan hal-hal yang berserakan di otak dan hati kami.
Tak Sempurna lebih mewakili kami sebagai individu. Ia memuat gagasan dan perasaan kami yang lebih utuh dan jujur wacana banyak hal. Juga keinginan dan kegelisahan-kegelisahan. Untuk mengungkapkan semua itu, kami memilih dunia sekolah sebagai “medan bercerita”. Ya, boleh jadi kami meminjam sekolah sebagai sudut pandang untuk melihat dunia yang lebih luas. Bagi kami, sekolah ialah dunia yang sangat kompleks—miniatur kehidupan manusia. Kita mampu melihat banyak aspek penting kehidupan dari sana: Hubungan antar-manusia, anak-anak, keluarga, orangtua, birokrasi, politik, agama, masyarakat, harapan, kekecewaan, masa lalu, masa kini, masa depan, semuanya. Jadi, meskipun kami bercerita wacana “sekolah” atau “anak sekolah”, sesungguhnya kami sedang menceritakan sesuatu yang lebih luas lagi.
Novel kami bercerita wacana dunia pendidikan di suatu kota-yang-tak-disebutkan-namanya di Indonesia. Kami lebih senang menyebutnya Gotham-nya Indonesia. Suatu kota di mana anak-anak dibesarkan di tengah keluarga yang tak mengatakan kasih sayang, kehidupan bermasyarakat yang tak memberi harapan, dan kehidupan bernegara yang tak menjanjikan apa-apa kecuali perang-perang politik kepentingan memuakkan. Di kota semacam itu, sulit sekali menemukan referensi dan pola yang baik, sekalipun dari kalangan tokoh-tokoh agama. Di kota itulah sekolah menjadi sekadar tempat “penitipan anak” bagi orangtua yang sibuk atau “tempat pembuangan anak” bagi orangtua yang tak peduli pada mereka. Juga ajang sabung gengsi. Sementara itu, di tengah semua kekacauan sistem pendidikan, rekrutmen tenaga pengajar yang penuh kecurangan, dan kurikulum pendidikan yang berantakan, anak-anak ini masih ditekan dengan beban pelajaran yang kelebihan muatan, tugas-tugas, les panjang persiapan ujian, try out, ujian nasional, dan seterusnya.
Something has gone very wrong with our school! Itu kalimat kuncinya. Sudah mampu diduga, tentu saja, anak-anak ibarat apa yang dihasilkan kehidupan kota semacam itu—sistem pendidikan semacam itu? Kami terkejut menerima sejumlah fakta mengerikan dalam riset sederhana yang kami lakukan: Ratusan pelajar tewas setiap tahunnya simpulan tawuran dan overdosisi obat-obatan terlarang. Para pelajar melakukan seks bebas sesering pesta minuman keras, aborsi di mana-mana, pembunuhan dan pemerkosaan sulit dihitung jumlah pastinya. Ya, semua itu dilakukan pelajar, arif balig cukup akal Indonesia di bawah usia 18 tahun! Anak-anak masa depan yang gelisah dan putus asa, tapi tak pernah diperhatikan! Ana-anak yang dibuang, ditekan, dibebani, untuk kelak dicaci-maki dan disalahkan!
Di novel tersebut, kami meminjam sudut pandang seorang arif balig cukup akal biasa untuk bercerita aneka macam hal wacana dirinya. Namanya Rama. Dia menceritakan banyak hal wacana sekolah dan segala hal yang bersinggungan dengannya. Dari hal-hal yang mampu kita bayangkan hingga hal-hal yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Dari yang menyenangkan hingga yang menyedihkan. Dari keinginan hingga kekecewaan. Semua wacana sekolah. Semua wacana kehidupan mereka—anak-anak bangsa: Miniatur bagi kehidupan kita sesungguhnya!
Saya tak akan menulis lebih panjang lagi. Jika ingin tahu detilnya, tentu Anda semua harus membaca ceritanya. Kami sudah tidak peduli lagi dongeng itu akan melahirkan “pro” atau “kontra” di tengah masyarakat. Kami hanya menceritakan kenyataan yang kami tangkap apa adanya. Lagi pula, sebuah karya, dikala sudah dilemparkan ke hadapan sidang pembaca, sepenuhnya menjadi milik pembacanya. Tugas kami sudah selesai, itu dia: Kami sudah menuliskannya menjadi sebuah dongeng sederhana—yang barangkali memang tak sempurna. Namun dari dongeng itu, kami berharap sesuatu: Semoga pikiran dan perasaan kita terbuka, ada jutaan anak-anak Indonesia yang harus kita perhatikan dan selamatkan masa depannya!
Bagaimana kisah ini dituliskan? Kami tetap menyebutnya fiksi-musikal. Kami tak peduli pada genre, sebenarnya. Seperti bila saya menulis atau bila Bondan Prakoso & Fade2Black menulis dan menyanyikan lagu. Bisa apa saja namanya. Tapi mungkin novel ini memang dituliskan dengan cara yang tidak biasa. Bacalah sambil mendegarkan lagu-lagunya. Cerita dan lirik-lirik lagu yang terdapat di dalamnya merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Inilah yang disebut kolaborasi, sebuah karya yang dirancang dan dilahirkan dengan spirit saling melengkapi!
Akhirnya, kami mempersembahkan novel ini untuk orang-orang terkasih di sekeliling kami, adik-adik kami para pelajar di seluruh Indonesia, juga Rezpector sejagat raya! Mari akhiri semua kebodohan untuk menjadi generasi Tak Terkalahkan—
Kau yang di sana, yang berjiwa lemah,
Mendekat padaku! Raih tanganku!
Karena ku di sini pantang menyerah,
Bersatu kita kuat, bersama kita hebat
dan tak kan terkalahkan!
Respect & Unity For All, RUFA,
Fahd Djibran - Bondan Prakoso & Fade2Black
[https://ssemuaadadisini.blogspot.com/search?q=tak-sempurna-sebuah-novel]
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Bagaiamana kisah sukses Cristiano Ronaldo mungkin mampu kita jadikan pelajaran yang berharga, mari kita simak;
Belum ada Komentar untuk "Tak Sempurna: Sebuah Novel"
Posting Komentar