Iq Anda Bukan Satu-Satunya Penentu Kesuksesan

 Seberapa penting ukuran IQ ini bagi Anda IQ Anda Bukan Satu-satunya Penentu KesuksesanBerapa IQ Anda?
Seberapa penting ukuran IQ ini bagi Anda?

Sebuah perusahaan mengandalkan “kecerdasan” atau IQ karyawan sebagai persyaratan kaku dalam proses promosi. Seorang supervisor harus punya IQ minimal tertentu, dan untuk menjadi manager IQ-nya harus lebih tinggi lagi. Beberapa atasan protes, alasannya yakni melihat kenyataan di lapangan yang tidak selalu relevan dengan ukuran IQ tadi.

Sementara pembuat kebijakan tetap pada prinsip bahwa para calon administrator yang dituntut melakukan problem solving dan menyusun strategi memang perlu ber-IQ tinggi. Para pembuat kebijakan ini berkomentar, “Bila tidak ber-IQ tinggi, nanti top manajemen kita hanya terdiri dari orang-orang yang terlalu operasional”.

Di zaman modern ini, di mana tuntutan kompetensi makin beragam, kita terus bertanya-tanya, seberapa tinggi bersama-sama hubungan IQ dengan kemampuan menciptakan strategi perusahaan, problem solving dan kreativitas?

Banyak orang berpikir bahwa individu dengan IQ tinggi yakni orang yang smart. Meskipun ada yang terlihat culun dan telmi alias “telat mikir”, namun angka IQ tinggi kerap membuatnya tetap dianggap “smart” oleh lingkungan sekitar.

Pertanyaannya, apakah orang ibarat ini bisa menjamin pengambilan keputusan yang benar-benar “cemerlang”, jago melakukan inovasi dan terobosan? Apakah individu ibarat ini bisa masuk dalam suasana berpikir yang membutuhkan common sense dan streetsmartness yang merupakan hal kritikal, terutama di level manajemen atas? Mungkin ini sebabnya orang sering bersikap skeptis mengenai IQ?

Pengukuran IQ tentu tidak salah, penggunaannya sebagai parameter juga tidak salah. Berbagai riset terperinci memberikan IQ punya kiprah signifikan terhadap kinerja individu di kawasan kerja. Namun demikian, kita memang perlu berhati-hati dalam melakukan interpretasinya. IQ mengukur kemampuan general untuk memecahkan masalah.

Namun, kemampuan kognitif yang dibutuhkan di kawasan kerja, tidak sekadar kemampuan general saja. Di kawasan kerja, justru pencarian dan perolehan informasi baru, mengambil pelajaran dari kegagalan, menemukan jalan keluar unik, serta kreativitas menciptakan terobosanlah yang semakin menjadi hal kritikal. Di sini kita segera melihat ada batasan kemampuan yang diukur IQ, karena untuk melakukan itu semua, individu perlu mengerahkan kemampuannya secara menyeluruh.

Dunia kerja kita sekarang menuntut individu memberikan kemampuan untuk melepaskan diri dari kekakuan rumus-rumus, kebijaksanaan statis, dan juga mempersyaratkan "think outside the box”. Artinya, cara individu memproses inteligensinya juga berpengaruh terhadap kinerja kognitifnya. Itu sebabnya, jangan heran bila sebuah studi terhadap para pimpinan perusahaan menemukan angka IQ mereka tidak hebat-hebat amat, sementara para direksi ini nyata-nyata berkinerja sangat cemerlang.

Jadi, memanfaatkan pengukuran IQ saja sebagai satu-satunya penentu keberhasilan kinerja kognitif memang perlu kita tinjau kembali, karena ternyata dalam perkembangannya orang bisa meningkatkan kemampuan berpikirnya, dengan ukuran IQ yang tetap segitu saja.

Mengencerkan Inteligensi

Albert Einstein memberikan bahwa individu perlu menajamkan instingnya, bila menginginkan hasil yang optimal. Makara IQ dihidupkan dan dikembangkan, tidak bisa berkembang dengan sendirinya.

Dalam sejarah, kita pasti bisa menyaksikan betapa para jenius ini tidak henti-hentinya mencari informasi baru. Hal ini menjadikan tidak sekadar mindset yang berubah, tetapi jumlah sambungan neuron dalam otakpun bertambah, karena ia perlu mengkaitkan informasi gres dengan yang sudah ada. Makara orang dengan IQ "biasa" pun bisa dan harus mengadaptasi sikap “Be an "Einstein"’.

Orang yang berotak encer yakni orang yang dengan praktis menyerap informasi baru, menyusunnya di dalam memori, dan menggunakannya sebagai dasar pemecahan duduk kasus terkini yang sedang ia hadapi. Hasil pengalaman ini kemudian digunakannya lagi untuk menghadapi duduk kasus gres lagi.

Kegiatan mengencerkan inteligensi ini bisa dilatih. Di lingkungan kerja, di mana brainstorming dijadikan rutinitas dan dianggap penting, mau tidak mau orang bersiap untuk mendapat dan mengolah informasi baru. Seperti latihan dalam olah aga, daya pikirpun bisa dilatih: “The more you train, the more you gain”. Untuk itu, belajarlah alat musik baru, kunjungilah pameran dan museum, bacalah inovasi penemuan science terbaru. Jadilah “knowledge junkie”.

Hal yang sering tidak kita kaitkan dengan kegiatan kognitif yakni kegiatan sosial. Media sosial ibarat Twitter, Facebook, memungkinkan kita untuk terekspos dan mengenal orang lain. Pada saat berkomunikasi kita tentunya akan dihadapkan pada hal hal gres yang kita temukan di lingkungan sosial kita, sehingga mau tidak mau kita jadi terangsang untuk berbagi diri.

Sadar kognisi
Saya mengenal seseorang yang skor IQ-nya berada di bawah rata-rata, namun begitu keras hatinya. Setelah menamatkan kuliah S1-nya, ia mengambil kursus programmer perangkat lunak yang canggih dan paling laku, memperbaiki nilai TOEFL-nya, sehingga sekarang menjadi programer yang langka dan berupah besar, jauh dari teman-temannya yang paling tidak ber IQ rata-rata. Hal ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa kita memang tidak bisa sekadar mengandalkan angka IQ sebagai penentu kinerja kognitif seseorang.

Hal yang perlu kita waspadai yakni sikap mengistirahatkan otak atau malas berpikir. Meski punya IQ tinggi, namun bila tidak dilatih, akan menciptakan otak kita cepat berkarat. Contoh sederhana yakni sering kita mengetahui sesuatu tetapi lupa di mana kita bisa menggali memori kita. Jadi, kata atau nama itu seolah ada di ujung lidah tetapi tidak bisa diucapkan.

Ini tanda otak kita memerlukan alertness supaya selalu bisa menyajikan memori yang tersimpan. Bila kita serius untuk menajamkan kemampuan kognitif kita, kita pun perlu berhati-hati dengan pemanjaan teknologi, misalnya penggunaan memori nomor telepon di ponsel yang menjadikan kita tidak terbiasa menghapal nomer telepon lagi.

Selain itu, GPS yang semakin lama semakin friendly, menjadikan kegiatan mapping di otak kita beristirahat. Perangkat lunak penerjemah, menjadikan kita tidak berpikir keras untuk bertata bahasa yang baik, padahal bahasa yakni latihan otak yang sangat baik.

Kita perlu sadari bahwa orang yang berotak encer memiliki kebiasaan untuk terbuka dan mengosongkan pikirannya, sehingga ia semakin trampil mencari informasi. Sementara, orang yang mandeg, merasa nyaman-nyaman saja dan merasa sudah tahu segalanya. [Eileen Rachman, Sylvina Savitri, (EXPERD Consultant)]

Punya anak atau saudara yang duduk di kursi SD atau SMP, coba berikan permainan tangram siapa tahu dia suka. Hasil kreativitas anak dari permainan tangram sanggup diliha pada video berikut;
 Seberapa penting ukuran IQ ini bagi Anda IQ Anda Bukan Satu-satunya Penentu Kesuksesan

Belum ada Komentar untuk "Iq Anda Bukan Satu-Satunya Penentu Kesuksesan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel