Rhenald Kasali: Budaya Menghukum Dan Menghakimi Para Pendidik Di Indonesia

 Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia Rhenald Kasali: Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di IndonesiaTulisan ini sudah banyak publikasikan di beberapa forum diskusi, beberapa blog atau website, sehingga ada sedikit ketertarikan untuk menelusuri awal kisah ini dan kebenaran dari kisah ini.

Dengan lompat dari website yang satu lalu lompat ke website yang lain lagi semuanya memuat kisah yang sama dan terakhir mampir di website http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd dengan judul artikel "Encouragement - Prof. Rhenald Kasali, Ph.D". Setelah membaca kisah dengan judul 'Encouragement - Prof. Rhenald Kasali, Ph.D' di websitenya Magister Manajemen Universitas Indonesia ini, baru dech yakin bahwa kisah benar ditulis oleh bapak Prof. Rhenald Kasali, Ph.D.

Seperti apa kisah dari Bapak Rhenald Kasali yang mungkin bermanfaat bagi kita sebagai seorang guru atau orang tua, mari kita simak;

15 tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah kawasan anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali...

Padahal, ia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa...
Karangan yang ia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas...
Menurut saya, ukiran pena itu buruk.
Logikanya sangat sederhana...
Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai ia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji....
Ada apa...?
Apa tidak salah memberi nilai....?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan...?
Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri...

Sewaktu saya protes, ibu guru yang mendapatkan saya hanya bertanya singkat....
"Maaf,...Bapak dari mana....?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.....

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya....
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat....
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu...
"Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini," lanjutnya.
"Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai..."
Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang supaya maju...
"Encouragement! "
Dia pun melanjutkan argumentasinya....
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda...."
"Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya sanggup menjamin, ini yakni karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibentuk anak saya....

Dari diskusi itu saya mendapatkan pelajaran berharga....
Kita tidak sanggup mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya merampungkan study saya yang bergelimang nilai "A", dari acara master sampai doktor....
Sementara di Indonesia, saya harus merampungkan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam....
Padahal, saat menempuh ujian acara doktor di luar negeri, saya sanggup melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan menciptakan saya harus benar-benar siap.
Namun, suasana ujian dibentuk sangat bersahabat.
Seorang penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan...
Melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka memberikan grafik-grafik yang saya buat dan membuktikan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti....
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan....
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di dingklik ujian.
Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan....

Tapi yang sering terjadi di tanah air justru penguji marah-marah, tersinggung dan menyebarkan gosip tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi....
Mereka bukannya melakukan encouragement, melainkan discouragement...
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul....
Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga cenderung menguji dengan cara menekan...

Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan....

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Lantas saya berpikir, pantaslah belum remaja di sana bisa menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel...

Bukan karena mereka punya guru yang cerdik secara akademis, melainkan huruf hasil didikan guru-gurunya sangat kuat:
"Yaitu huruf yang membangun, bukan merusak...."

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya...
"Janganlah kita mengukur kualitas belum remaja kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan....

Saya juga teringat dengan rapor belum remaja di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal....
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, mirip berikut.
"Sarah telah memulainya dengan berat, ia mencobanya dengan sungguh-sungguh...."
"Namun Sarah telah memberikan kemajuan yang berarti."

Malam itu, saya pun mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya.
Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah karena sudah memberinya penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat mendapatkan nilai E yang berarti excellent [sempurna], tetapi saya justru memberikan bahwa "gurunya salah".

Kini, saya bisa melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang jago dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut...?
Bukan tidak mustahil kita yakni generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman:
Gesper,..
Rotan pemukul,...
Tangan bercincin watu akik,....
kapur,....
Penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,...
Sundutan rokok,...
dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman:
Awas...;
Kalau...;
Nanti...;
(dan tentu saja ukiran pena berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah...)
Sekolah yang menciptakan kita tidak nyaman mungkin telah menciptakan kita menjadi lebih disiplin.
Namun, di lain pihak juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata memberikan otak insan tidak statis, melainkan sanggup mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, sanggup tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau sumbangan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.

Dengan demikian, kecerdasan insan sanggup tumbuh, tetapi sebaliknya juga sanggup menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang cerdik dan ada orang yang kurang cerdik atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang "tambah pintar" dan ada pula orang yang "tambah bodoh".
Cerita diatas juga mengingatkan kita pada pengalaman Rita Pierson: Setiap Anak Layak Menjadi Juara. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
😊

Contoh Proses Belajar Mengajar yang dianjurkan pada Kurikulum 2013, mungkin video berikut sanggup membantu kita dalam penerapan kuriulum 2013;
 Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia Rhenald Kasali: Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia

Belum ada Komentar untuk "Rhenald Kasali: Budaya Menghukum Dan Menghakimi Para Pendidik Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel