Determinan Sosial Dalam Duduk Kasus Kesehatan


 I.              LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mewujudkan sumber daya insan yang berkualitas. Melalui pembangunan di bidang kesehatan dibutuhkan akan semakin meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan sanggup dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara memadai (Dinas Kesehatan, 2007). Berhasilnya pembangunan kesehatan ditandai dengan lingkungan yang kondusif, sikap masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit, pelayanan kesehatan yang berhasil dan berdaya guna tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.Akan tetapi pada kenyataanya, pembangunan kesehatan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan kesehatan masih banyak terjadi. Beberapa diantaranya adalah: penyakit-penyakit ibarat DBD, flu burung, dan sebagainya yang semakin menyebar luas, kasus-kasus gizi buruk yang semakin marak khususnya di wilayah Indonesia Timur, prioritas kesehatan rendah, serta tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa kebijakan pemerintah lah yang salah, sehingga masalah-masalah kesehatan di Indonesia seakan tak ada ujungnya. Akan tetapi, kita tidak bisa hanya menyalahkan pemerintah saja dalam hal ini. Karena bagaimanapun juga, bahwasanya individu yang menjadi faktor penentu dalam memilih status kesehatan. Dengan kata lain, selain pemerintah masih banyak lagi faktor-faktor atau determinan yang menghipnotis status kesehatan masyarakat.

II.           RUMUSAN MASALAH
Bagaimana efek determinan sosial terhadap permasalahan kesehatan masyarakat?
III.        TUJUAN
1.             Tujuan Umum
Untuk memenuhi kiprah mata kuliah Ilmu Sosial dan Perilaku Kesehatan Masyarakat.
2.             Tujuan Khusus
Untuk mengetahui efek determinan sosial terhadap permasalahan kesehatan masyarakat.
IV.        TINJAUAN PUSTAKA
4.1.       Permasalahan Kesehatan
Berdasarkan informasi dari Intrahealth International setiap tahunnya merilis daftar duduk masalah kesehatan global yang perlu digarisbawahi dan diberikan perhatian lebih. Tahun 2017, tidak hanya penyakit gres yang perlu diwaspadai, namun sistem penanganan layanan kesehatan pun perlu diperhatikan.
1.             Superbug
Sebuah basil “super” atau superbug yang bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1)  telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika  dan aneka macam belahan dunia lainnya. Bakteri ini telah menyebar di rumah sakit Inggris, para hebat kesehatan dunia memperingatkan basil “super” ini bisa menjadi duduk masalah besar di seluruh dunia.
New Delhi Metallo-beta-laktamase, atau NDM-1 yaitu sebuah enzim yang kalau ditemukan dalam basil umum ibarat E. coli, salmonella dan k. pneumonia. Bakteri ini adalah yang paling resisten terhadap antibiotik. Koeadaan ini merupakan ancaman NDM-1 sangat serius bagi umat insan di dunia.
Penggunaan antibiotika yang berlebihan harus segera dihentikan biar basil superbug lainnya tidak lahir lagi. Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga sanggup membunuh kuman yang baik dan mempunyai kegunaan yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh basil baik ini akan diisi oleh basil jahat atau oleh jamur atau disebut “superinfection”. Pemberian antibiotika yang berlebihan akan mengakibatkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs”. Di Indonesia belum ada data resmi wacana pemberian antibiotika ini. Sehingga semua pihak dikala ini tidak terusik atau tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah.
2.             Penyakit Epidemiologi Kerja
Data dari World Health Organization menjelaskan bahwa terdapat empat penyakit epidemiologi kerja, diantara D Krimea – Kongo, Ebola, Sindrom Mers, dan Zika.




4.2.       Teori Gender
Berdasarkan pendekatan sosiologi terhadap gender, teori gender dibagi menjadi tujuh, yaitu:

a.              Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa kepingan yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur fundamental yang besar lengan berkuasa di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang menyebarkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada masa ke-20, di antaranya yaitu William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan memilih keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang bisa menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak sanggup dilepaskan dari efek budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Terkait dengan kiprah gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, pria lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa kuliner kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, ibarat mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja ibarat ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil membuat kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi kiprah gender sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin). Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian kiprah secara seksual yaitu suatu yang masuk logika (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, korelasi suami-istri bisa berjalan dengan baik.
Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi kiprah gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori struktural-fungsional ini mendapatkan kecaman dari kaum feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan kiprah sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domistik, terutama dalam duduk masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi pria dalam stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Meskipun teori ini banyak memperoleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai insan akan tampil tidak lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” sanggup diterima secara wajar. Yang juga memperkuat pemberlakuan teori ini yaitu karena masyarakat modern-kapitalis, berdasarkan Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi pria lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.
Kesesuaian teori struktural-fungsional dengan yang terjadi di masyarakat menerangkan bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa kepingan yang saling mempengaruhi. Kedudukan seseorang dalam keluarga akan memilih fungsinya, yang masing-masing berbeda. Namun perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan. Tentunya, struktur dan fungsi ini tidak akan pemah lepas dari efek budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat itu. Struktural-fungsional berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk berfungsi secara efektif, dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang laki-Iaki pencari nafkah dan perempuan ibu rumah tangga yaitu yang paling cocok untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru.
Dalam teori struktural-fungsional, kiprah masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan pria (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis mempunyai kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, contohnya saudara pria mempunyai struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan mirip pria mempunyai kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, contohnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestic tanggungjawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang bisa menjadi tulang punggung keluarga, secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri menghidupi keluarganya dan lebih bisa bertahan dalamkesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, hingga pada profesi terhormat di masyarakat, bisa menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, kiprah perempuan dalam memperkuat ekonomi keluargatersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja(pencari nafkah tambahan).

b.             Teori Sosio-Konflik
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat,
terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pengutamaan diri,
menurutnya, akan mengakibatkan diferensiasi kekuasaan yang ada mengakibatkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada jadinya sanggup mengakibatkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76).
Dalam duduk masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya efek Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara pria dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan kepingan dari penindasan kelas yang berkuasa dalam korelasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan korelasi ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas.        Dengan kata lain, ketimpangan kiprah gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx ibarat F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun korelasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola korelasi yang ada bahwasanya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini mengambarkan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik yaitu suatu yang tak terhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik yaitu sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81).
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol pria terhadap produksi merupakan alasannya paling fundamental terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah Engels memberikan bahwa keunggulan pria atas perempuan yaitu hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan (Nasaruddin Umar, 1999: 62).
Keluarga, berdasarkan teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis sanggup dipakai untuk melegitimasi korelasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang membuat kiprah gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan kiprah gender yaitu keluarga dan agama, sehingga perjuangan untuk membuat perfect equality (kesetaraan gender 50/50) yaitu dengan menghilangkan kiprah biologis gender, yaitu dengan perjuangan radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91.
Teori sosial-konflik ini juga mendapatkan kritik dari sejumlah pakar, terutama karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya sepakat dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang busuk tanah dan anak, suami dan isteri, senior dan yunior, pria dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori gres mengenai feminisme, ibarat feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.

c.              Teori Feminisme Liberal
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara pria dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara pria dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228). Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki biar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

d.             Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat biar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, biar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini yaitu perjuangan untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan biar bangun untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.
Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan bahwasanya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria dari sektor domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).

e.              Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi pria (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci pria sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan pria dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian yaitu telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan sanggup berdiri diatas kaki sendiri (Ratna Megawangi, 1999: 226). Karena keradikalannya, teori ini mendapatkan kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri.
Tokoh feminis liberal tidak sepakat sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara pria dan perempuan pada jadinya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh duduk masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

f.              Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern ibarat di atas. Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu yaitu makhluk otonom yang lepas dari efek lingkungannya dan berhak memilih jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Menurut teori ini, apa yang terjadi sesudah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh pria yaitu tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah mengakibatkan peradaban modern semakin lebih banyak didominasi diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat yaitu kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh aktual dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat yaitu semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).

g.             Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa sikap dan kepribadian pria dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang berdasarkan Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memperlihatkan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan bernafsu dari id. Ego berusaha mengatur korelasi antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: Menurut Freud kondisi biologis seseorang yaitu duduk masalah takdir yang tidak sanggup dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada dikala mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak pria dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak pria dan perempuan mulai berbeda.             Perbedaan ini melahirkan pembedaan deretan sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat pria dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41). Pada tahap phallic seorang anak pria berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, ibarat dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, saat anak perempuan melihat dirinya tidak mempunyai penis ibarat anak laki-laki, tidak sanggup menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.
Pendapat Freud ini mendapatkan protes keras dari kaum feminis, terutama karena Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justru sanggup dijadikan pijakan dalam menyebarkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai keadilan gender.
Pandangan Freud mengenai psikoanalisa meliputi kesadaran dan ketidaksadaran serta insting dan kecemasan. Hipotesis pokok psikonalisa menyatakan bahwa tingkah laku insan sebagian besar ditentukan oleh motif-motif tidak sadar. Aliran psikonalisa dari Sigmund Freud berasumsi bahwa energi pencetus awal sikap insan berasal dari dalam diri insan yang terletak jauh di alam bawah sadar. Itulah sebabnya, mengapa begitu banyak penyakit fisik yang dikarenakan oleh tertekannya psikoligis seseorang. Tekanan psikologis ditekan ke dalam alam bawah sadar. Maka dari itu, untuk menyembuhkan penyakitnya yaitu dengan menggali kembali duduk masalah yang sedang dihadapinya melalui terapi hipnosis dan lain-lain.
Jika seseorang terlalu menuruti Id atau Superego tanpa diseimbangkan dengan Ego, maka hal tersebut sanggup menjadi penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental. Namun begitu, dalam aliran psikoanalisa juga terdapat sisi positifnya untuk kesehatan mental. Cara membela diri atau yang biasa disebut defense mechanismdapat menjadi salah satu cara untuk membela diri yang tidak sempurna, sehingga seseorang sanggup terhindar dari depresi yang disebabkan oleh adanya Id maupun Superego yang tidak diseimbangkan dengan Ego.

Menurut pembahasan mengenai gender berdasarkan kesetaraan dan keadilan gender, maka dikenal adanya tiga aliran atau teori yaitu:
a.              Teori  Nurture
Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan pria yaitu hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan kiprah dan kiprah yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan kiprah dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan pria dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis atau menengah/menengah keatas, dan perempuan sebagai kelas proletar atau sosial rendah/orang tanpa kekayaan.
b.             Teori Nature
Menurut teori nature adanya pembedaan pria dan perempuan yaitu kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memperlihatkan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut mempunyai kiprah dan kiprah yang berbeda. Ada kiprah dan kiprah yang sanggup dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak membuat kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan   gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-adilan gender dalam aneka macam kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender ini berdampak pula terhadap laki-laki.
c.              Teori Equilibrium
Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam korelasi antara perempuan dengan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan taktik pembangunan biar diperhitungkan kepentingan dan kiprah perempuan dan pria secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi korelasi komplementer guna saling melengkapi satu sama lain.

4.3.       Gender terhadap Kesehatan
Menurut World Health Organization, gender yaitu konsep yang mengacu pada kiprah dan tanggungjawab perempuan dan pria yang terjadi balasan dari dan sanggup berubah oleh konstruksi/ keadaan sosial budaya masyarakat (WHO, 2010).
Gender bukan semata-mata perbedaan biologis; bukan jenis kelamin, bukan juga perempuan, tetapi lebih merujuk pada arti sosial bagaimana menjadi perempuan dan menjadi laki-laki. Perbedaan dan kiprah gender bahwasanya bukan suatu duduk masalah sepanjang tidak mengakibatkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Perlu ditekankan bahwa meskipun lakilaki dan perempuan dari sisi biologis berbeda, namun dari sisi sosial, pria dan perempuan idealnya mempunyai kiprah dan tanggung jawab yang sama. Contohnya pria jadi ilmuwan, perempuan juga bisa jadi ilmuwan, pria menjadi pemimpin, perempuan juga bisa jadi pemimpin, dan lain-lain. Namun demikian, kondisi ideal tersebut belum tercipta karena masih terjadi ketidakadilan dan ketidaksetaraan atau diskriminasi gender.
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender sanggup terjadi dalam beberapa bentuk atau manifestasi, yakni: 
·                Stereotipi: menempatkan perempuan sebagai mahluk lemah, mahluk yang perlu dilindungi, tidak penting, tidak punya nilai ekonomi, orang rumah, bukan pengambil keputusan, dan lain-lain; 
·                Subordinasi: balasan bentuk stereotipi menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki, dihentikan mengambil keputusan dibandingkan laki-laki, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja atau berproduksi, pendidikan, dan lain-lain; 
·                Marginalisasi: terpinggirkan, tidak diperhatikan atau diakomodasi dalam aneka macam hal, yang menyangkut kebutuhan, kepedulian, pengalaman, dan lain-lain. 
·                Beban Majemuk: perempuan bekerja lebih bermacam-macam daripada laki-laki, dan lebih lama waktu kerjanya, contohnya fungsi reproduktif dan kiprah sebagai pengelola rumah tangga, termasuk bekerja di luar rumah. 
·                Kekerasan Berbasis Gender: perempuan mendapatkan serangan fisik, seksual atau psikologis tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan. Kekerasan bisa berbentuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi diranah publik, tempat kerja, atau dalam kehidupan rumah tangga.  
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gender itu dibentuk secara sosial, penting untuk memahami dan mendapatkan bagaimana pria dan perempuan dikonstruksikan untuk bersikap dan berperilaku berbeda sejak mereka dilahirkan.  Selanjutnya, dengan pemahaman ini, akan sangat penting untuk memulai proses dekonstruksi secara dini, sebelum pola-pola korelasi antara pria dan perempuan terbentuk dan sebelum konstruksi wacana generasisasi dan stereotipe pria dan perempuan diinternalisasi. 

V.           PEMBAHASAN
5.1.       Stigma Gender terhadap Kesehatan
Gender mempunyai efek besar terhadap kesehatan pria dan  perempuan. Baik pria maupun perempuan sama-sama terkena dampak dan gender steriotipi masing-masing. Misalnya sesuai dengan pola sikap yang dibutuhkan sebagai laki-laki, maka pria dianggap tidak pantas memperlihatkan rasa sakit atau mempertunjukkan kelemahan-kelemahan serta keluhannya. Perempuan yang dibutuhkan mempunyai toleransi yang tinggi, berdampak terhadap cara mereka menunda-nunda pencarian pengobatan, terutama dalam situasi sosial ekonomi yang kurang dan harus memilih prioritas, maka biasanya perempuan dianggap masuk logika untuk berkorban.
Keadaan ini juga sanggup besar lengan berkuasa terhadap konsekuensi kesehatan yang dihadapi pria dan perempuan. Misalnya kanker paru-paru banyak diderita oleh pria diwaspadai ada kaitannya dengan kebiasaan merokok. Penderita depresi pada perempuan  dua kali hingga tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita penyakit menahun yang berkepanjangan (TBC), akan tetapi ada kecenderungan dari perhitungan, karena kebiasaan perempuan untuk mengabaikan atau menunda mencari pengobatan, kalau penyakit itu masih bisa ditanggungnya.
Penting sekali memahami realitas, bahwa perempuan dan pria menghadapi penyakit dan kesakitan bisa berbeda. Informasi   itu hanya didapat jika  kita mempunyai data pasien, ibarat data umur, status, social ekonomi yang terpilah berdasarkan jenis kelamin.
Hal-hal yang dibutuhkan untuk memahami info gender berkaitan dengan kesehatan yaitu :
(1)   Mengumpulkan data dan informasi yang memperlihatkan bukti adanya ketimpangan berbasis gender dalam kesehatan perempuan dan laki-laki.
(2)   Menyatakan data dan informasi tersebut serta memperhitungkannya saat menyebarkan kebijakan dan agenda kesehatan.
(3)   Mengimplementasikan program-program yang sensitive gender untuk memperbaiki ketimpangan.
(4)   Mengembangkan mekanisme monitoring yang responsive terhadap info gender, untuk memastikan ketimpangan gender dipantau secara teratur.

Isu-isu gender dalam aneka macam siklus kehidupan. Pada kesempatan ini ada 4 (empat) info gender dalam aneka macam kehidupan, yaitu:
1.             Isu Gender Di Masa Kanak-Kanak.
          Isu gender pada anak-anak laki-laki, misalnya: pada beberapa suku tertentu, kelahiran bayi pria sangat dibutuhkan dengan alas an, contohnya pria yaitu penerus atau pewaris nama keluarga; pria sebagai pencari nafkah keluarga yang handal; pria sebagai penyanggah orang tuanya di hari tua., Dan perbedaan perlakuan juga berlanjut pada masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, sifat bernafsu anak pria serta sikap yang mengandung resiko diterima sebagai suatu kewajaran, bahkan didorong kearah itu, karena dianggap sebagai sifat anak laki-laki. Sehingga data memperlihatkan bahwa anak pria lebih sering terluka dan mengalami kecelakaan.
2.           Isu Gender Di Masa Remaja
Isu gender yang berkaitan dengan remaja perempuan, antara lain : kawin muda, kehamilan remaja, umumnya renmaja puteri kekurangan nutrisi, ibarat zat besi, anemia. Menginjak remaja, gangguan anemia merupakan tanda-tanda umum dikalangan remaja putri. Gerakan serta interaksi social remaja puteri seringkali terbatasi dengan datangnya menarche. Perkawinan dini pada remaja puteri sanggup member tanggung jawab dan beban melampaui usianya. Belum lagi kalau remaja puteri mengalami kehamilan, menempatkan mereka pada resiko tinggi terhadap kematian. Remaja putreri juga berisiko terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, yang bisa terjadi di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah. Remaja putri juga bisa terkena info berkaitan dengan kerentanan mereka yang lebih tinggi terhadap perilaku-perilaku steriotipi maskulin, ibarat merokok, tawuran, kecelakaan dalam olah raga, kecelakaan kemudian lintas, ekplorasi seksual sebelum nikah yang berisiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan :IMS, HIV/AIDS. 
3.             Isu Gender Di Masa Dewasa
Pada tahap dewasa, baik pria maupun perempuan mengalami masalah-masalah kesehatan yang berbeda, yang disebabkan karena factor biologis maupun karena perbedaan gender. Perempuan menghadapi duduk masalah kesehatan yang berkaitan dengan fungsi alat reproduksinya serta ketidaksetaraan gender. Masalah-masalah tersebut, contohnya konsekwensi dengan kehamilan dan saat melahirkan ibarat anemia, aborsi, puerperal sepsis (infeksi postpartum), perdarahan, ketidak berdayaan dalam memutuskan bahkan saat itu menyangkut tubuhnya sendiri (“tiga terlambat”). Sebagai perempuan, ia juga rentan terpapar penyakit yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS, meskipun mereka sering hanya sebagai korban. Misalnya : metode KB yang hanya difokuskan pada peserta perempuan, perempuan juga rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan ditempat kerja, dan diperjalanan.
4.           Isu Gender Di Masa Tua.
Di usia busuk tanah baik pria maupun perempuan keadaan biologis semakin menurun. Mereka merasa terabaikan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan mereka secara psikologis dianggap semakin meningkat. Secara umum, umur keinginan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun umur panjang perempuan berisiko ringkih, terutama dalam situasi soaial-ekonomi kurang. Secara kehidupan social biasanya mereka lebih terlantar lagi, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan yang semakin banyak dan semakin tergantung terhadap sumber daya. Osteoporosis banyak diderita  oleh perempuan di masa tua, yaitu delapan kali lebih banyak dari pada laki-laki. Depresi mental juga lebih banyak diderita orang tua, terutama karena merasa ditinggalkan.
Isu Gender dalam bidang kesehatan yaitu duduk masalah kesenjangan perempuan dan pria dalam hal akses, kiprah atau partisipasi, kontrol dan manfaat yang diperoleh mereka dalam pembangunan kesehatan. Kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan pria dalam upaya atau pelayanan kesehatan secara langsung mengakibatkan ketidaksetaraan terhadap status kesehatan perempuan dan laki-laki, sehingga kesenjangan tersebut harus menjadi perhatian dalam menyusun kebijakan/program sehingga kebijakan/program bisa lebih terfokus, efisien dan efektif dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, info kesehatan dihentikan hanya dilihat pada duduk masalah service delivery (penyediaan layanan) saja, tetapi juga perlu melihat pada korelasi sosial budaya yang mengakibatkan perbedaan status dan kiprah perempuan dan pria dan korelasi antara keduanya di masyarakat.
Untuk mempermudah para perencana mengenal info gender, berikut ini beberapa pola info gender dalam kaitannya dengan upaya atau pelayanan kesehatan.
1.      Isu gender terhadap prevalensi dan tingkat keparahan penyakit Perbedaan norma dan korelasi gender mengakibatkan perempuan dan pria menderita penyakit yang berbeda dan juga tingkat keparahannya. Publikasi ilmiah menyatakan bahwa: 
·         Perempuan menderita anemia balasan kekurangan Fe pada ibu hamil dan menyusui serta perempuan yang menstruasi sebagai balasan dari hegemoni pria dalam rumah tangga yang mempunyai peluang lebih besar mengkonsumsi kuliner kaya Fe. 
·         Osteoporosis 8 kali lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pria yang berhubungan dengan faktor biologis dan gaya hidup. Demikian pula Diabetes, hipertensi dan kegemukan, lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. 
·         Depresi (dua hingga tiga kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan pria pada semua fase kehidupan) yang berhubungan dengan tipe personal dan pengalaman dalam bersosialisasi dan perbedaan peluang antara perempuan dan laki-laki. 
·         Angka akhir hidup yang tinggi pada dilema kanker perempuan pada usia dewasa, yang berhubungan dengan rendahnya susukan terhadap teknologi dan pelayanan kesehatan dalam deteksi dini dan tindakan pengobatan. 
·         Laki-laki menderita lebih banyak Sirosis Hepatis yang berhubungan dengan sikap minuman beralkohol. Demikian pula Schizophrenia dan kanker paru-paru yang berhubungan dengan sikap merokok. Silicosis yang berhubungan dengan pekerja tambang (100 % laki-laki). Demikian pula untuk dilema hernia pada pria yang berhubungan dengan jenis pekerjaan.  Penyakit dengan gangguan pada Arteri Coronaria merupakan salah satu penyebab terbesar akhir hidup pria pada dikala kerja. 
·         Perempuan lebih berisiko dari pria terhadap defisiensi micro-nutrient yang akan berdampak buruk bagi status gizi dan kesehatannya sehingga mengurangi produktivitas dan peluang investasi di bidang pendidikan.
·         Malnutrisi pada bayi berhubungan dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan ibu.
2.      Isu gender terhadap lingkungan fisik dan penyakit
Studi dilema di Zimbabwe menyatakan bahwa perempuan remaja lebih berisiko tinggi menderita Sistosomiasis (salah satu jenis cacing darah) dibandingkan pria karena perempuan bertugas mencuci pakaian dan perlengkapan dapur yang dilakukannya di sungai, sementara remaja pria mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan karena mereka lebih sering bermain di sungai dan kanal.
3.      Isu gender terhadap faktor risiko penyakit 
·         Perempuan mempunyai susukan yang lemah terhadap keuangan keluarga sehingga mengurangi kemampuannya untuk melindungi dirinya dari factor risiko penyakit. 
·         Riset WHO yang dilakukan pada pria termasuk remaja pria di seluruh dunia memperlihatkan bagaimana norma-norma terhadap ketidakadilan gender menghipnotis interaksi pria dengan pasangan wanitanya dalam banyak hal, termasuk pencegahan transmisi HIV dan penyakit IMS lainnya, penggunaan alat kontrasepsi dan prilaku pria dalam mencari pelayanan kesehatan. Juga terkait dengan pembagian kiprah dan kiprah rumah tangga, serta pola parenting (proses bertindak sebagai orang tua). 
·         Streotipi maskulin mengakibatkan seorang pria harus berani, pengambil resiko berprilaku agnesi dan tidak memperlihatkan sifat lemah berhubungan dengan angka penggunaan alkohol dan Narkoba lebih tinggi pada pria di seluruh belahan dunia. Demikian pula dengan angka kesakitan dan akhir hidup balasan kecelakaan kemudian lintas dan tindak kriminal. 
·         Terbatasnya susukan terhadap air bersih pada perempuan, karena dalam beberapa kelompok masyarakat pria lebih didahulukan sebagai pengguna utama air bersih, sedangkan perempuan dan anakanak harus membawa dan menyiapkannya tetapi mendapatkan prioritas kedua.
4.      Isu gender terhadap persepsi dan respon terhadap penyakit 
·         Perbedaan kiprah pria dan perempuan menghipnotis persepsi perasaan tidak nyaman serta menghipnotis keinginan perempuan untuk menyatakan dirinya sakit. Peran perempuan dalam mengurus rumah tangga mengakibatkan apabila perempuan jatuh sakit tidak cepat mencari pengobatan karena merasa tidak nyaman melalaikan kiprah dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Kalaupun berobat penyakitnya sudah dalam stadium lanjut. Demikian pula pada pria remaja mencari pengobatan terhadap penyakitnya pada stadium lanjut karena kiprah maskulin pria mengakibatkan pria merasa harus besar lengan berkuasa dalam menghadapi penyakit. 
·         Tidak masuknya target perempuan pada studi-studi klinis patologis, mengakibatkan terapi hasil studi tersebut tidak realible diaplikasikan pada perempuan dan mungkin berbahaya pada perempuan. Pertimbangan tubuh pria sebagai standar dalam studi klinis akan membatasi jumlah studi yang difokuskan pada kesehatan reproduktif dan non-reproduktif perempuan, yang selanjutnya besar lengan berkuasa terhadap dampak pengobatan tertentu pada perempuan. 
·         Pelayanan Kelurga Berencana lebih fokus pada perempuan dibanding pria mengakibatkan pria mempunyai susukan yang terbatas terhadap pelayanan KB dan mengakibatkan pria mempunyai persepsi bahwa KB yaitu urusan perempuan.  Disamping itu dalam korelasi gender di sebuah keluarga, keputusan wacana penggunaan kontrasepsi lebih banyak ditentukan oleh suami.

5.2.       Stigma Sosial wacana Gender terhadap Kesehatan
Pengarustamaan gender mengacu pada integrasi peduli gender dalam analisis, formulasi dan pengawasan kebijakan, agenda dan proyek serta dalam organisasi yang bertujuan untuk memperlihatkan ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan antara pria dan perempuan. Kebutuhan gampang berbasis gender merupakan kebutuhan yang bersifat dasar dan segera sering kali berkaitan dengan ketidaklayakan kondisi hidup, perawatan kesehatan dan pekerjaan ibarat pusat kesehatan, memastikan persediaan air bersih dan menyediakan konsultasi keluarga berencana. Pemusatan terhadap kebutuhan ini tidak merubah posisi pria dan perempuan dalam masyarakat.
Kebutuhan strategis berbasis gender berhubungan dengan pembagian gender dalam bidang pekerjaan, kekuasaan dan pengawasan dan boleh jadi meliputi info sepertihak-hak hukum, kekerasan domestik, susukan ke sumber daya, upah yang adil dan kontrol perempuan atas tubuhnya. Pemusatan terhadap kebutuhan ini membantu perempuan mencapai kesetaraan yang lebih baik dan menolak untuk berada di bawah laki-laki.
Pengarustamaan bukanlah agenda yang singkat, tetapi merupakan proses yang terus menerus. Hal ini berarti bahwa info ketidaksetaraan gender disampaikan atau diintegrasikan dalam setiap aspek struktur organisasi dan agenda daripada sebagai agenda tambahan. Pengurustamaan gender aspek penting (WHO 2001) yaitu (1) distribusi yang adil oleh pria dan perempuan, kesempatan  dan keuntungan dari proses pembangunan pengurustamaan (2) termasuk pengalaman yang menarik dan visi perempuan dan pria dalam memilih permulaan pembangunan, kebijakan, dan agenda serta memilih agenda keseluruhan.
Dalam pengurustamaan gender, kebutuhan strategis dan gampang berbasis gender perempuan sebaiknya dipertimbangkan. Kebutuhan gampang berbasis gender merupakan kebutuhan yang bersifat dasar dan segera serta sering kali berkaitan dengan ketidaklayakan kondisi hidup, perawatan kesehatan dan pekerjaan ibarat perbaikan pusat kesehatan, memastikan persediaan air bersih dan menyediakan konsultasi keluarga berencana. Pemusatan terhadap kebutuhan ini tidak merubah posisi pria dan perempuan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat, perempuan dan pria berbeda karena kiprah dan aktivitasnya, ruang fisik yang mereka tempati dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Namun, perempuan mempunyai susukan ked an control yang kurang atas sumber daya daripada laki-laki, khususnya susukan ke pendidikan dan fasilitas pelatihan yang terbatas.
Konsep analisis gender penting sekali di bidang kesehatan karena perbedaan berbasis gender daalam kiprah dan tanggung jawab, pembagian pekerjaan, susukan ked an control atas sumber daya, dalam kekuasaan dan keputusan mempunyai konsekuensi maskulinitas dan feminitas yang berbeda berdasarkan budaya, suku dan kelas social. Sangat penting memilikin pemahaman yang baik wacana konsep dan mengetahui karakteristik kelompok perempuan dan pria yang berhubungan dengan proses pembangunan.
Pada status kesehatan perempuan dan laki-laki. Konsekuensi boleh jadi meliputi: “risiko yang berbeda dan kerawanan terhadap infeksi dan kondisi kesehatan,” mebuat banyaknya pendapat wacana kebutuhan kesehatan tindakan yang tepat, susukan yang berbeda ke layanan kesehatan, yang diakibatkan oleh penyakit dan konsekuensi social yang berbeda dari penyakit dan kesehatan.
WHO (2001) telah membuat daftar cara bagaimana dampak gender terhadap status kesehatan:
1.             Pembongkaran, risiko atau kerawanan
2.             Sifat dasar, kekerasan dan frekuensi duduk masalah kesehatan yang gejalanya sanggup dirasakan
3.             Perilaku mencari kesehatan
4.             Akses ke layanan kesehatan
5.             Konsekuensi social jangka panjang dan konsekuensi kesehatan
VI.        KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas kita melihat bahwa isu-isu gender dan ketidaksetaraan gender menghalangi hak individu untuk mendapatkan kesehatan yang optimal untuk diri sendiri, keluarga dan komunitasnya. Ketidaksetaraan gender dan pelanggaran hak-hak dasar manusia, termasuk hak seksual dan reproduksiberkontribusi pada penolakan, penghindaran atau penundaan keterlibatan individu / kelompok pada agenda dan atau layanan kesehatan (mulai dari pencegahan, perawatan dan dukungan, pengobatan dan mitigasi dampak) yang berkontribusi pada penyebaran HIV serta akhir hidup dan kesakitan yang bahwasanya sanggup dihindari.
Pemahaman petugas kesehatan dan pembuat kebijakan wacana info gender menjadi sangat penting karena laki-laki, perempuan; remaja pria dan remaja perempuan; anak pria dan anak perempuan; kelompok keberagaman seksual - mempunyai kebutuhan perawatan kesehatan yang berbeda, sehingga membutuhkan agenda dan layanan yang sadar akan perbedaan kebutuhan tersebut dan terlatih untuk memenuhi kebutuhan spesifik tersebut.
Mengintegrasikan gender pada agenda dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi (termasuk layanan HIV)  akan berkontribusi pada kualitas layanan dan perlindungan klien, terutama mereka yang sangat rentan.  Sehingga, penting untuk memastikan bahwa agenda dan layanan kita mempertimbangkan faktor risiko dan faktor kerentanan yang berbeda antara aneka macam kelompok – serta melihat bagaimana orang-orang (laki-laki; perempuan; transgender) berinteraksi satu sama lain.
Hal-hal yang sanggup kita lakukan yaitu menyasar atau menantang norma-norma gender yang merugikan, ibarat kekerasan, stereotipe maskulin dan feminin dengan ketrampilan komunikasi diantara pasangan, dan memastikan susukan pendidikan/ketrampilan untuk semua gender.   Selain itu, edukasi dan kesadaran untuk semua anak/remaja/dewasa muda pria dan perempuan mengenai HIV, IMS, seksualitas, dan relasi.  Hal ini harus dimulai dini – sebelum pola sikap seksual terbentuk – dan fokus pada ketrampilan hidup untuk perlindungan diri (kesadaran, negosiasi, kepercayaan diri, komunikasi asertif, respek). 
Selain itu, mulai melibatkan pria (misalnya, meningkatkan keterlibatan pasangan pada kunjungan pemeriksaan antenatal dan VCT), membuka susukan pada teknologi gres dan metode pencegahan yang sanggup dikendalikan oleh perempuan (seperti kondom perempuan dan mikrobisida), serta menyediakan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang berkualitas dan konfidensial.
VII.     DAFTAR PUSTAKA

2.             Diunduh dari http://who.int/mediacentre/factsheets/fs403/en/  pada Selasa, 12 September 2017.
3.             Diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/45116-ID-sensitivitas-gender-kebijakan-pemerintahan-sby.pdf pada Selasa, 12 September 2017.
4.             Doyal, L. 1995. “What makes women sick?”. London: MacMillan Press.
5.     Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily. 1996. Kamus Besar Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
6.     Kemitraan UNFPA dan Angsamerah Institution. 2013. Modul Pelatihan Layanan Kesehatan Seksual & Reproduksi Ramah Remaja untuk Dokter Praktik Swasta. Dearah Istimewa Yogyakarta.
7.             Mansour Faqih. 1996. Analisis gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
8.             Mansour Faqih.1996. Gender Sebagai Alat Analisis Sosial. Edisi 4 November.
9.             Prabasmoro, Aquirini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis. Yogyakarta: Jalsutra.
10.         Robinson, Mark dan dkk. 2011. Ethnicity, gender and mental health. UK: Radcliffe Publishing.
11.         Sciortino, R. 1999. Menuju kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Belum ada Komentar untuk "Determinan Sosial Dalam Duduk Kasus Kesehatan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel