Pendidikan Dan Filosofi Sang Guru

ari Pendidikan Nasional bergotong-royong yaitu hari yang harus dibuat Presiden menjadi hari lib Pendidikan dan Filosofi Sang Guru
Hari Pendidikan Nasional bergotong-royong yaitu hari yang harus dibuat Presiden menjadi hari libur nasional bukannya pada dikala Hari Buruh. Tanya kenapa?
Alasan sederhana, buruh itu hanya bagi mereka yang sudah bekerja sedangkan yang tidak bekerja bukan buruh artinya tidak semua orang itu buruh. Sedangkan untuk duduk kasus pendidikan tidak memandang siapa orangnya selama dia masih hidup berarti dia masih mendapat atau mengalami pendidikan istilahnya 'long life education' jadi suatu kewajaran Hari Pendidikan Nasional jadi hari libur nasional karena kita semua merayakannya. Apakah harus ada demo mirip mereka gres Hari Pendidikan Nasional dijadikan hari libur nasional.

Kita lanjutkan ceritanya, saya coba mengembangkan perihal ukiran pena pendidikan dimana ukiran pena ini bergotong-royong sudah pernah saya post di Hari Pendidikan Nasional tetapi agar lebih ter-update lagi sehingga post Hari Pendidikan Nasional saya potong sedikit post-nya dan ditampilkan disini. Tulisan ini perihal falsafah pendidikan untuk pengadapan insan dan perihal pendidikan dan filosofi sang guru.

Falsafah Pendidikan untuk Pengadapan Manusia


Pendidikan itu berbeda dengan persekolahan. Memang tidak selalu dua yang bertentangan. Namun dua benda ini memang harus dibedakan, karena banyak orang dibingungkan oleh keduanya.

Banyak orang beranggapan dia sedang pertanda topik pendidikan, ternyata yang dimaksud yaitu sekolah atau persekolahan.

Pendidikan yaitu substani dan isi sementara persekolahan yaitu sistem, sarana dan gedung. Cukup sering sarana menyampaikan bantuan. Tetapi dalam beberapa dekade ini, dalam banyak kasus, sekolah dengan segala sepatu, buku, administrasi, uang gedung, ijazah dan masih banyak komplemen lain lebih banyak mengganggu pendidikan daripada membantu.

Sekarang ini kita banyak diskusi mengenai Standar Nasional Pendidikan, UU perihal Guru dan Dosen (ada lagi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang dikeluarkan pada tahun 2005). Anehnya semua undang-undang pendidikan ini bukanlah problem pendidikan. Ia hanyalah setitik kecil problem teramat panjang dari persekolahan. Langsung tidak langsung adanya sekolah telah menambah biaya (uang, mental, energi, fisik) yang harus dipikul masyarakat untuk mengenyam pendidikan.

Lalu pertanyaan berikut, mengapa kita hanya bisa mengeluh dan meratapi suasana itu? Beranikah kita melawan dan tampil beda dari mereka? “kita” di sini yang disebutkan disini selalu mengandalkan gerakan bersama. Protes harus dikerjakan gotong royong agar berubah menjadi proyek kesadaran.

Masihkan kita punya keberanian untuk kembali pada ‘pendidikan’ yang menjadi substansi, bukan persekolahan yang terus-menerus menjadi sumber carut-marutnya pendidikan. Kita mesti sadar bahwa yang mutlak untuk kita yaitu kembali pada filsafat pendidikan yang solid: mendidik orang menjadi akil dan mempunyai etos dan punya displin tanpa menjadikan anak didik mirip robot dan patung emas.

Pendidikan dan Filosofi Sang Guru


Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menulis perihal filosofi sang guru, “Guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung.” Pengalaman Hirata yang dituliskan dalam bentuk novel ini membuka hati kita akan kiprah dan filosofi seorang guru sebagai pendidik dan pengajar untuk membebaskan para akseptor didik dari kegelapan menuju pencerahan.

Harapan bagi para guru untuk membebaskan belum sampaumur bangsa dari kegelapan belum tercapai. Kemerosotan mutu pendidikan nasional di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari rendahnya mutu guru karena mempunyai kiprah sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional yaitu dehumanisasi pendidikan. Seharusnya pendidikan menghormati dan menghargai martabat insan beserta segala hak asasinya. Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek melalui proses pendidikan. Tapi yang sedang terjadi yaitu justru sebaliknya. Ada terlalu banyak pratik-pratik sekolah yang menyampaikan betapa akseptor didik sudah diperlakukan sebagai objek demi kepentingan ideologi, politik, industri,dan bisnis.

Guru sebagai pendidik tidak bisa mengembangkan kesadaran untuk menghentikan gejala dehumanisasi ini dan membebaskan akseptor didik dari kegelapan karena para guru merasa terjebak sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional. Berikut kami tampilkan sebagian kecil realitas belenggu kemiskinan yang dihadapi guru yakni:

1. Dengan gaji dan tunjangan yang kurang memadai, guru terlalu sibuk mencari penghasilan tambahan.
2. Dengan jam mengajar yang panjang dan kiprah administratif yang membebani, guru sudah tidak punya waktu untuk membaca dan mengembangkan diri hasilnya pengetahuan, wawasan dan kreatifitas guru sulit berkembang.
3. Guru yang seharusnya berperan sebagai pemain film dalam proses pembudayaan transformasi nilai-nilai malah sebagai guru malah melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan menyampaikan berguru khusus bagi akseptor didik dan bahkan membocoran soal ujian sendiri atau terlibat sebai saksi yang menutup verbal atas beberapa tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.
4. Akhirnya belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional dan kultural sering menciptakan guru kehilangan indentitas dan integritas. Pekerjaan sebagai guru tidak lagi dilandasi oleh spiritualitas profesi dan tidak menjadi penggalan perjalanan kemanusiaan.

Pendidikan tidak pernah lepas dari wibawa dan peranan guru. Maka dalam cahaya pradigma gres kita perlu berupaya mengangkat derajat guru. Di tengah keprihatinan terhadap kemerosotan mutu dan status guru, peraturan pemerintah No.19, tahun 2005 perihal standar nasional pendidikan dan undang-undang no.14, tahun 2005 perihal guru dan dosen yang diluncurkan dengan itikad baik diantaranya mengatur profesionalisme guru dan menyampaikan jaminan terhadap perlindungan dan kesejahteraan guru.

Sementara yang menjadi janggal yaitu problem konseptual pendidikan profesional guru masih belum terselesaikan, acara porfotfolio sudah langsung dijalankan untuk menilai kompetensi seorang guru. Akibatnya aneka macam akses (misalnya keikutsertaan dalam acara pendidikan dan pembinaan hanya demi sertifikat, ada manipulasi berkas, dan kolusi antara pemilik fortofolio dan penilai) sangat menodai profesi guru dan bahkan melemparkan guru pada titik nadir dalam perjalanan profesinya.ini problema guru yang dihadapi di Indonesia.

Terlepas dari segala tetek bengek peraturan yang dibuat oleh pemerintah satu hal penting dalam mendidik yaitu bahwa guru harus bepegang pada filosofi pengajaran yakni semangat sebagai guru secara terus-menerus harus mengaitkan tiga hal yakni dirinya sendiri, anak didik, dan bidang pengetahuan/keterampilan yang diampunya. Berbagai kemampuan yang diharapkan dimiliki dan dikembangkan seorang guru seyogianya menjadi penggalan tak terpisahkan dari sosok utuh kompetensi profesional seorang pendidik.

Perwujudan Falsafah Pendidikan


Peter C.Hodgson, seorang andal pendidikan melihat sosok Allah sebagai Pendidik utama dalam transformasi hidup sejarah insan dan menyampaikan sejarah Pendidikan Allah. Peter C.Hodgson menjungkirbalikkan berhala-berhala pendidikan modern yang banyak merusak insan antara lain memaksa anak untuk berprestasi sedemikian hebat dengan sistem pemaksaan acara yang sangat ketat. Peter menyampaikan inti falsafah Pendidikan yang di dalamnya ada roh kasih, kebenaran, dan keadilan.

Menurut Hodgson pendidikan harus menyingkapkan kebenaran dan menyelematkan umat insan dari kesesatan (the darkness of error) dan berhala (idolatry). Karena itu dalam konteks pendidikan mesti disadari bahwa budi akal di satu sisi yaitu tanda kemuliaan Ilahi, tetapi sekaligus menjadi potensial menjadi sumber penderitaan insan yang tak terperikan.

Kita perlu menebus budi namun tidak menggusurnya. Kita perlu memerangi kejahatan yang disebabkan oleh budi budi. Pendidkan bertujuan membeirkan tanggapan terhadap panggilan akan kebenaran. Inilah rangkuman seluruh roh pendidikan. Lepas dari sini maka pendidikan akan tidak berdaya guna.

Semuanya bisa berjalan dengan baik karena ada kerja sama. Kerja sama, iman, kasih, dan solidaritas menjadi inti falsafah pendidikan. Karena itu dalam konteks menerapkan falsafah pendidikan perlu diperhatikan tiga C yakni

Competensi = sanggup dipercaya dan berdaya guna.
Compassion = berempati kepada orang lain.
Conscience = mempunyai kesadaran moral (beriman).

Dengan tiga C yang ditanamkan dalam pendidikan hasil yang diharapkan yaitu insan terdidik yang mempunyai kharakter. Kita mengharapkan setiap anak didik yang dididik tumbuh menjadi insan berkarakter (memiliki kepribadian yang tangguh). Menurut Ernest Hull, seorang Jesuit pendidik dari kurun lalu, pembentukan karakter dimulai dengan “tujuan yang hendak dicapai.” Kita perlu berfantasi, membayangkan karakter yang hendak dibangun pada siswa. Agar berkarakter maka setiap anak didik perlu didorong untuk disiplin, dikondisikan untuk tidak mencontek, bermental juara dan bahkan jiwa seni mereka pun perlu dikembangkan.

Pendidikan karakter yaitu penggalan integral upaya mendampingi akseptor didik untuk mengembangkan potensi manusiawi mereka. Maka tanggungjawab sekolah yaitu membantu akseptor didik untuk mengubah potensi manusiawi menjadi tindakan konkret. Pendidikan karakter ini juga untuk menyampaikan visi etis kepada akseptor didik.

Visi etis diharapkan menempatkan diri mereka pada horizon yang lebih luas. Pendidikan yang mengabaikan pembentukan visi etis dikawatirkan hanya akan menjadi proses pemindahan pengetahuan yang tidak berakar berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan karakter dengan demikian diharapkan sanggup membantu akseptor didik untuk menjadi langsung yang semakin manusiawi dan beriman.

Pintar saja tidak cukup tetapi perlu mendidik belum sampaumur di sekolah Nasrani agar bisa berempati, beriman dan lebih manusiasi. Manusia berkarakter (manusia beradab) merupakan salah satu tujuan filsafat pendidikan.

Penutup


Kita mau maju. Air mata murid dan guru telah banyak menggenangi pendidikan Indonesia. Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsiswa, dan pelecehan terhadap etika profesi guru menjadi potret-potret buram pendidikan yang menciptakan kita tak kuasa menitikkan air mata duka. Kita mendengar tangisan murid di awal tahun anutan baru.

Komunitas guru berbondong-bondong ke istana negara membawa air mata pendidikan di tangan mereka. Pendidikan yang berhasil yaitu pendidikan yang berhasil menciptakan manusia-manusia beradab. Maju terus untuk meraih gemilang di masa mendatang. Terimakasih. [P. Moses Elias Situmorang OFMCap]

Dirgahayu Hari Pendidikan Nasional


Mengerjakan pembagian pecahan umumnya kita harus kembalikan ke perkalian pecahan, lihat pada video ini dikerjakan dengan sangat kreatif;
ari Pendidikan Nasional bergotong-royong yaitu hari yang harus dibuat Presiden menjadi hari lib Pendidikan dan Filosofi Sang Guru

Belum ada Komentar untuk "Pendidikan Dan Filosofi Sang Guru"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel