Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia
Sekelumit kisah ungkapan hati ini terjadi lebih dari setengah kala yang lalu, tetapi relevansinya masih ada hingga dikala ini. Padahal, berbagai kemajuan dunia telah tercapai dengan demikian pesatnya. Namun, ternyata kemajuan pendidikan memang menjadi salah satu pengecualian.
Lambang pendidikan memang biasa digambarkan dengan angka. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi yang terperinci angka-angka itulah yang nyaris selalu menjadikan kasus besar bagi pelajar.
Yang salah harus disalahkan, yang benar harus dibenarkan, jangan memakai idiom jangan saling menyalahkan. Kalau dalil ini dipakai, siapa lagi jika bukan pemerintah yang patut bertanggung jawab.
Teramat banyak kebijakan tak tepat yang dibuat. Sebaliknya, jangan terlalu menyalahkan para siswa jika lebih suka tidur di kelas atau absen berpura-pura sakit. Siswa tidak lagi sibuk memikirkan pelajaran, tetapi terlampau sibuk mencemaskan nasib mereka. Nasib lulus ujian nasional atau lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru.
Penguatan superioritas eksakta dalam alam pendidikan semakin tampak dalam salah satu event besar Departemen Pendidikan Nasional. Kompetisi primadona yang menjadi obsesi besar para pelajar yakni Olimpiade Sains (OS).
Tak sanggup disangkal, kilau gemilang prestasi pelajar-pelajar Indonesia di kancah OS internasional begitu berbinar-binar. Tak syak lagi kilau tersebut mengundang perhatian berbagai kalangan yang kemudian menilai bahwa tolong-menolong sumber daya manusia kita mempunyai potensi besar, tak kalah dengan negara-negara lain, bahkan negara barat sekalipun.
Birokrasi pendidikan dengan konyolnya lagi menganggap mutu pendidikan Indonesia semakin meningkat dengan pencapaian tersebut. Kilau semakin menyilaukan dikala dinyatakan, dalam beberapa tahun mendatang akan lahir peraih-peraih Nobel dari Indonesia dengan bermodalkan pelajar-pelajar berprestasi luar biasa ini.
Optimisme menyerupai itu terlalu absah untuk diremehkan. Realitas bahwa ada pelajar-pelajar berbakat tak bisa disanggah lagi. Sayangnya, cara pencarian dan pengolahan bakat tersebut dilakukan dengan sangat mengecewakan.
Bakat-bakat terpendam yang dimiliki oleh pelajar kita tidak cukup digali hanya lewat OS. Apalagi mengukur kualitas pendidikan dengan capaian OS. Ukurannya masih kelewat absurd.
Lihatlah betapa menyesatkan dengan apa yang disebut menang itu. Ketika seorang pelajar berdiri dalam upacara pengalungan medali sambil diiringi lagu kebangsaan, bekerjsama kemenangannya telah tidak berlaku lagi.
Sebab jika seusai pengalungan medali pertandingan dimulai lagi, belum tentu menang lagi. Tak apalah jika yang digunakan yakni majas sinekdoke totem pro party. Namun, keterwakilan tersebut yakni sampel kelas, bukan random sehingga jangkauan mutu sangat lebar jaraknya.
Kompetisi menyerupai OS bisa dikatakan serumpun pula dengan kompetisi pemilihan idola di televisi, terlalu instan untuk dianugerahi predikat superstar. Pembinaan sporadis dan cenderung dadakan dengan cara men-drill siswa sebulan penuh dalam karantina telah mafhum kurang sesuai dengan kaidah pedagogis.
Kekecewaan bertambah pula dengan berpindahnya minat pelajar berprestasi spesifik ke disiplin ilmu lain. Capaian yang susah payah dibangun mubazir saja tinggal kenangan indah yang terukir di medali-medali kejuaraan.
Dari legalisasi beberapa kawan berprestasi internasional terungkap bahwa partisipasi mereka dalam kancah OS hanyalah alasannya yaitu terdorong oleh hobi belaka dan bukan merupakan bidang yang betul-betul mereka minati untuk ditekuni seumur hidupnya. Sungguh menakjubkan, hobi yang bisa ”menambang emas”.
Implikasi lebih jauh (seperti yang telah tersebut pada awal) yakni penciptaan pembagian terstruktur mengenai pelajar kurang pintar pandai dengan ukuran pencapaian dalam OS yang kemudian berbuntut panjang pada jomplangnya saluran mutu pendidikan di antara dua kelas ekstrem ini.
Anehnya, fasilitas lebih banyak diberikan kepada pelajar pintar dan bukannya kepada pelajar bodoh. Sedikit cerita, seorang ayah siswa peraih emas olimpiade internasional dengan menggebu-gebu membeberkan idenya (yang akan disampaikan kepada bupati setempat) kepada penulis yang intinya yakni pembentukan kelas unggulan bagi pelajar berprestasi untuk dipersiapkan sebagai peserta berbagai kompetisi.
Menurut pengalaman penulis, yang membutuhkan fasilitas lebih itu bukan siswa pandai, tetapi sebaliknya. Siswa-siswa pintar telah bisa berbagi dirinya secara personal dan mereka cenderung telah memahami apa yang harus mereka lakukan.
Baiklah, barangkali banyak pihak terobsesi untuk melahirkan peraih Nobel. Namun, mohon diingat, kita bukanlah pungguk merindukan medali apalagi Nobel! [Ahmad R. Darojat, Peraih Medali Emas Olimpiade Sains Nasional 2007 Bidang Ekonomi]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 Bagaiamana kisah sukses Cristiano Ronaldo;
Lambang pendidikan memang biasa digambarkan dengan angka. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi yang terperinci angka-angka itulah yang nyaris selalu menjadikan kasus besar bagi pelajar.
Yang salah harus disalahkan, yang benar harus dibenarkan, jangan memakai idiom jangan saling menyalahkan. Kalau dalil ini dipakai, siapa lagi jika bukan pemerintah yang patut bertanggung jawab.
Selain berguru cara berpura-pura sakit, tidak banyak yang kudapat dari sekolah tahun itu, pelajaran yang kudapat tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata. Sering saya tidak mengerti mengapa guruku lebih memerhatikan jumlah hitunganku yang salah dan sama sekali tidak tertarik pada permainan yang kulakukan diluar sekolah. ____Sally Morgan, "My Place", 1983
Teramat banyak kebijakan tak tepat yang dibuat. Sebaliknya, jangan terlalu menyalahkan para siswa jika lebih suka tidur di kelas atau absen berpura-pura sakit. Siswa tidak lagi sibuk memikirkan pelajaran, tetapi terlampau sibuk mencemaskan nasib mereka. Nasib lulus ujian nasional atau lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru.
SUPERIORITAS EKSAKTA
Penguatan superioritas eksakta dalam alam pendidikan semakin tampak dalam salah satu event besar Departemen Pendidikan Nasional. Kompetisi primadona yang menjadi obsesi besar para pelajar yakni Olimpiade Sains (OS).
Tak sanggup disangkal, kilau gemilang prestasi pelajar-pelajar Indonesia di kancah OS internasional begitu berbinar-binar. Tak syak lagi kilau tersebut mengundang perhatian berbagai kalangan yang kemudian menilai bahwa tolong-menolong sumber daya manusia kita mempunyai potensi besar, tak kalah dengan negara-negara lain, bahkan negara barat sekalipun.
Birokrasi pendidikan dengan konyolnya lagi menganggap mutu pendidikan Indonesia semakin meningkat dengan pencapaian tersebut. Kilau semakin menyilaukan dikala dinyatakan, dalam beberapa tahun mendatang akan lahir peraih-peraih Nobel dari Indonesia dengan bermodalkan pelajar-pelajar berprestasi luar biasa ini.
Optimisme menyerupai itu terlalu absah untuk diremehkan. Realitas bahwa ada pelajar-pelajar berbakat tak bisa disanggah lagi. Sayangnya, cara pencarian dan pengolahan bakat tersebut dilakukan dengan sangat mengecewakan.
Bakat-bakat terpendam yang dimiliki oleh pelajar kita tidak cukup digali hanya lewat OS. Apalagi mengukur kualitas pendidikan dengan capaian OS. Ukurannya masih kelewat absurd.
Lihatlah betapa menyesatkan dengan apa yang disebut menang itu. Ketika seorang pelajar berdiri dalam upacara pengalungan medali sambil diiringi lagu kebangsaan, bekerjsama kemenangannya telah tidak berlaku lagi.
Sebab jika seusai pengalungan medali pertandingan dimulai lagi, belum tentu menang lagi. Tak apalah jika yang digunakan yakni majas sinekdoke totem pro party. Namun, keterwakilan tersebut yakni sampel kelas, bukan random sehingga jangkauan mutu sangat lebar jaraknya.
TERLALU INSTAN
Kompetisi menyerupai OS bisa dikatakan serumpun pula dengan kompetisi pemilihan idola di televisi, terlalu instan untuk dianugerahi predikat superstar. Pembinaan sporadis dan cenderung dadakan dengan cara men-drill siswa sebulan penuh dalam karantina telah mafhum kurang sesuai dengan kaidah pedagogis.
Kekecewaan bertambah pula dengan berpindahnya minat pelajar berprestasi spesifik ke disiplin ilmu lain. Capaian yang susah payah dibangun mubazir saja tinggal kenangan indah yang terukir di medali-medali kejuaraan.
Dari legalisasi beberapa kawan berprestasi internasional terungkap bahwa partisipasi mereka dalam kancah OS hanyalah alasannya yaitu terdorong oleh hobi belaka dan bukan merupakan bidang yang betul-betul mereka minati untuk ditekuni seumur hidupnya. Sungguh menakjubkan, hobi yang bisa ”menambang emas”.
Implikasi lebih jauh (seperti yang telah tersebut pada awal) yakni penciptaan pembagian terstruktur mengenai pelajar kurang pintar pandai dengan ukuran pencapaian dalam OS yang kemudian berbuntut panjang pada jomplangnya saluran mutu pendidikan di antara dua kelas ekstrem ini.
Anehnya, fasilitas lebih banyak diberikan kepada pelajar pintar dan bukannya kepada pelajar bodoh. Sedikit cerita, seorang ayah siswa peraih emas olimpiade internasional dengan menggebu-gebu membeberkan idenya (yang akan disampaikan kepada bupati setempat) kepada penulis yang intinya yakni pembentukan kelas unggulan bagi pelajar berprestasi untuk dipersiapkan sebagai peserta berbagai kompetisi.
Menurut pengalaman penulis, yang membutuhkan fasilitas lebih itu bukan siswa pandai, tetapi sebaliknya. Siswa-siswa pintar telah bisa berbagi dirinya secara personal dan mereka cenderung telah memahami apa yang harus mereka lakukan.
Baru-baru ini dilontarkan lagi pentingnya memaksimalkan kemampuan pelajar ber-IQ luar biasa. Ironisnya, jarang sekali disuarakan pentingnya fasilitas lebih bagi pelajar ber-IQ rendah.
Baiklah, barangkali banyak pihak terobsesi untuk melahirkan peraih Nobel. Namun, mohon diingat, kita bukanlah pungguk merindukan medali apalagi Nobel! [Ahmad R. Darojat, Peraih Medali Emas Olimpiade Sains Nasional 2007 Bidang Ekonomi]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 Bagaiamana kisah sukses Cristiano Ronaldo;
Belum ada Komentar untuk "Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia"
Posting Komentar