Iwan Pranoto: Paradoks Teknologi Pendidikan

agi sekolah di kota besar yang sudah berfasilitas baik dan dilayani guru bermutu Iwan Pranoto: Paradoks Teknologi PendidikanBagi sekolah di kota besar yang sudah berfasilitas baik dan dilayani guru bermutu, penyediaan teknologi berguru bagi para murid yakni suatu kemewahan.

Teknologi untuk berguru di sekolah yang sudah baik merupakan unsur aksesori atau penghias semata, bukan kebutuhan. Jika tak tersedia teknologi berguru pun, para siswa tetap akan sanggup berguru bersama guru.

Namun, sebaliknya, bagi sekolah-apalagi masyarakat tanpa sekolah-di pedalaman dan tanpa fasilitas, mungkin pula tak memiliki guru memadai, teknologi berguru merupakan kebutuhan. Teknologi berguru bagi belum cukup umur di daerah terpencil merupakan keharusan. Pada dekade kedua kala ke-21 ini, teknologi juga mungkin satu-satunya peluang bagi belum cukup umur di pelosok untuk berguru dengan mutu tak kalah dari temannya di perkotaan.

Inilah paradoks dalam teknologi belajar. Di perkotaan dengan fasilitas pendidikan baik, teknologi berguru suatu kemewahan; di pedalaman, teknologi berguru justru kebutuhan.

Anak

Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengutarakan gagasan pemanfaatan tablet atau sabak elektronik [sabak-el] sebagai media belajar, beberapa pihak meragukan.

Umumnya keraguan bersumber pada fakta infrastruktur yang belum memadai, mirip jaringan listrik dan internet. Juga ada suara yang takut anak akan memanfaatkannya guna mengakses berita tak pantas. Malah ada yang berkata bahwa tunjangan sabak sebagai ganti buku bimbing untuk ketika ini belum mendesak, bahkan akan membuat perbandingan pendidikan di kota besar dengan di pelosok-pelosok semakin tidak seimbang.

Semua ramalan serta komentar bernada tak positif tersebut sahih. Hanya para pengkritik itu keliru membayangkan sabak-el ini untuk diterapkan di perkotaan atau malah di seluruh Indonesia, secara nasional.

Saat ini masih banyak daerah terpencil, sulit dijangkau, terjebak konflik, atau terkena bencana. Akibatnya, belum cukup umur di daerah mirip ini mau tak mau harus menelan layanan pendidikan ala kadarnya.

Kerap terjadi, hanya ada satu guru di satu-satunya sekolah di desa terdekat. Guru seorang itu harus mengampu semua mata pelajaran, mulai dari Agama, Bahasa Indonesia, Kimia, Matematika, sampai Olahraga. Di beberapa daerah lain, ada prajurit TNI yang berinisiatif mengajar anak- anak di sana.

Banyak daerah terpinggirkan itu harus dicapai dengan berjalan kaki menembus hutan satu atau dua malam. Ada pula yang harus dicapai dengan kapal yang tak selalu tersedia. Ada pula yang harus dicapai dengan pesawat terbang perintis. Inilah keadaan geografis Indonesia yang harus dipahami oleh penentu kebijakan dan politisi dalam bidang kebijakan pendidikan.

Dengan keadaan penuh kendala mirip itu, bagaimana menyediakan pendidikan bermutu?

Menyediakan guru cakap dan agresif mengajar di daerah terpencil tentu harus dilanjutkan dan digelorakan. Namun, berapa banyak guru mahir mirip itu yang sanggup disediakan dalam waktu satu-dua tahun ke depan? Lalu, dalam dua tahun itu, apakah belum cukup umur yang terpinggirkan dan terabaikan ini akan dibiarkan juga tak memperoleh kesempatan belajar?

Sungguh tak pantas sebenarnya pada kala ke-21 ini masih ada belum cukup umur kita yang belum memperoleh pendidikan wajar. Padahal, teman-temannya di Jakarta dan bahkan di Palu, Sulawesi Tengah, bersekolah dengan guru lengkap bahkan berpendidikan magister.

Karena itu, gagasan penggunaan sabak atau teknologi lainnya merupakan proposal yang layak dipikirkan. Terlebih lagi kemungkinan teknologi berguru merupakan pintu peluang terbesar negara menyediakan kesempatan berguru bermutu bagi anak-anak.

Benar bahwa di daerah terpencil belum ada infrastruktur yang memadai. Justru itu menandakan, ini ketika yang tepat untuk merancangnya dengan biaya sehemat mungkin. Ini investasi pendidikan untuk 10-20 tahun ke depan. Ini saatnya rekayasawan kita merekacipta sumber daya listrik alternatif murah yang memungkinkan mengisi sumber daya sabak-el.

Surya, angin, bahkan sumber daya listrik kinetik putaran tuas tangan anak sendiri merupakan sumber daya alternatif. Beberapa desain sudah sanggup mengubah putaran tuas oleh anak dalam 3 menit cukup guna mengaktifkan laptop 1 jam.

Tak ada jaringan internet juga bukan masalah lantaran yakni sabak-el sanggup dimanfaatkan dengan modus luar jaringan [luring]. Dengan mempersiapkan bahan bimbing dalam kartu memori, sabak-el sanggup berfungsi sebagai sumber bahan bimbing dan sanggup diperbarui datanya dengan simpel secara berkala, yakni dengan mengirimkan kartu memori kecil itu. Ini jauh lebih mungkin dan hemat ketimbang mengirim buku ajar.

Keuntungan lain dari penggunaan sabak-el ini yaitu peluang melokalkan pembelajaran IPA, IPS, Matematika, dan sebagainya, mirip ke dalam bahasa ibu. Dengan pendekatan buku bimbing tradisional, tentunya hal ini rumit dan mahal, tetapi justru menjadi mungkin diwujudkan dengan teknologi.

Guru

Jika guru di sekolah terpencil mengikuti acara pelatihan di kota terdekat, guru akan meninggalkan sekolah dan muridnya akan terganggu. Belum lagi isi pelatihan guru ketika ini kerap belum ke konsep mendalam lantaran yakni jumlah dan kapasitas widyaiswara masih kurang.

Akan tetapi, dengan sabak-el, guru sanggup pribadi berguru dan mempraktikkan cara membelajarkan satu topik tertentu pada waktu yang singkat, tanpa perlu meninggalkan sekolahnya. Jika harus membelajarkan perkalian bilangan bulat hari Senin, misalnya, pada hari Minggu guru sanggup pribadi menyimak klip video lima menitan bagaimana mengajarkannya. Ini hemat dan akan tepat sasaran.

Seperti juga bagi murid, bagi guru di daerah terpencil, teknologi berguru juga kebutuhan. Program sabak-el ini layak untuk dikaji lebih rinci. Kemudian, jikalau dianggap layak, perlu diujicobakan dalam skala kecil dahulu untuk lokasi tertentu dan satu atau dua mata pelajaran saja. Uji coba untuk pulau yang terpencil, misalnya.

Ada yang skeptis bahwa acara ini akan dikorupsi. Tentu ada kemungkinan itu. Bukankah buku bimbing tradisional atau kemudahan pendidikan juga diselewengkan? Kurang bijak jikalau kesempatan berguru belum cukup umur terpinggirkan ini dipupuskan hanya lantaran yakni kecurigaan akan ada orang jahat yang tega memalak dananya.

dari KBBI: paradoks/pa·ra·doks/ n pernyataan yg seolah-olah bertentangan [berlawanan] dng pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks

dari wikipedia: Paradoks yakni suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis [apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; [2] asumsi; [3] kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika], yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu konflik atau kontradiksi.

Sebuah 'paradoks yakni sebuah pernyataan yang betul atau sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah pertentangan atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi. Biasanya, baik pernyataan dalam pertanyaan tidak termasuk kontradiksi, hasil yang membingungkan bukan sebuah kontradiksi, atau "premis"nya tidak sepenuhnya betul [atau, tidak sanggup semuanya betul]. Pengenalan ambiguitas, equivocation, dan perkiraan yang tak diutarakan di paradoks yang dikenal sering kali menuju ke peningkatan dalam sains, filsafat, dan matematika.

[Iwan Pranoto - Guru Besar Matematika ITB]

Video pilihan khusus untuk Anda 😊 Masih menganggap matematika hanya hitung-hitungan semata, mari kita lihat kreativitas siswa ini;
agi sekolah di kota besar yang sudah berfasilitas baik dan dilayani guru bermutu Iwan Pranoto: Paradoks Teknologi Pendidikan

Belum ada Komentar untuk "Iwan Pranoto: Paradoks Teknologi Pendidikan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel