Iwan Pranoto: Hak Belajar, Bukan Wajib Belajar

Tulisan ini juga menjadi catatan penting bagi saya sebagai seorang guru dan sebagai orang amis tanah 😊
Di Republik ini, hak bagi warganya seringkali kehilangan makna dalam praktik kehidupan sehari-hari. Entah dengan sengaja atau tidak, suatu hak seringkali bergeser menjadi kewajiban.
Misalnya, hak menentukan dalam Pemilu. Setiap kali akan dilangsungkan Pemilu, bangsa ini senantiasa berdebat kembali dengan pertanyaan seputar wajibkah setiap warga negara ikut serta sebagai pemilih. Bolehkah menjadi seseorang yang secara sadar tidak ikut memilih? Makna hak untuk menentukan menjadi kabur. Hal yang analog dengan Pemilu ini tampaknya sedang terjadi dengan makna belajar.
Saat ini, Peraturan Pemerintah [PP] wacana pendidikan sedang digodog pemerintah dan aneka macam elemen. Salah satu PP tersebut yaitu WAJAR atau Wajib Belajar.
Jika diamati dengan seksama, gagasan wajib berguru merupakan suatu absurditas atau kontradiksi.
Pertama, proses berguru tak mungkin pernah berjalan efektif bila ada suatu pemaksaan pada diri pemelajar. Gagasan student centeredness atau pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan dan mengharuskan pemelajar menyadari serta bertanggung jawab atas proses belajar yang dijalaninya. Ini didasarkan pada prinsip bahwa dorongan atau impian berguru dari diri sendiri merupakan unsur utama dalam proses belajar. Kecuali itu, proses berguru yang dipaksakan tidak akan pernah sustained atau berkelanjutan.
Kedua, wajib berguru tampaknya telah rancu dengan wajib sekolah. Wajib sekolah memang simpel sekali mengamatinya. Seorang siswa atau siswi yang tak pergi ke sekolah pada dikala jam sekolah, jelas menyalahi wajib sekolah. Sangat jelas dan simpel menentukan seseorang melanggar wajib sekolah atau tidak. Namun, bagaimana dengan wajib belajar?
Jika berguru suatu kewajiban...,
Bagaimana operasi pelaksanaan pengamatannya nanti?
Bagaimana menentukan seseorang sedang berguru atau tidak?
Seorang anak yang bermain di pematang sawah atau tepi pantai apakah sedang tidak belajar?
Seorang anak yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar?
Seseorang anak berumur 10 tahun yang sedang terdiam di bawah pohon pada pinggiran sungai pada pukul 8 pagi, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajarnya? Memang kewajiban sekolah mungkin dilanggarnya, tetapi kewajiban belajar? Kalau ia ditanya, ia mungkin menjawab bahwa ia sedang berguru berpikir.
Oleh karenanya, jelas sekali bahwa wajib berguru merupakan suatu gagasan yang kontradiktif dan sangat tidak operasional.
😊😊😊
Jika kita ingin menerapkan gagasan student centeredness, kita harus menunjukkan tanggungjawab berguru pada siswa. Jelas sekali bahwa ini tidak berarti bahwa kita boleh membiarkan anak atau murid kita tidak belajar. Justru sebaliknya, kita guru dan orang amis tanah perlu menyadarkan atau mencerahkan anak-anak kita akan pentingnya berguru bagi kehidupan mereka. Kita perlu terus menerus menyadarkan anak-anak kita atas hak belajarnya. Kita perlu senantiasa berupaya menyuburkan bertumbuhkembangnya motivasi berguru anak-anak kita. Namun demikian, kita sadar bahwa yang paling utama menentukan terjadi tidaknya proses berguru yaitu siswa sendiri. Kita, orang amis tanah mau pun guru, bukan pelaku utama dalam proses berguru anak-anak kita. Jika kita sudah sering berwacana gagasan siswa sebagai subjek dalam proses pendidikan, maka mengembalikan tanggungjawab berguru pada siswa merupakan suatu aktualisasi dan penerapan gagasan tersebut. Ini juga merupakan realisasi pemberdayaan siswa melalui proses belajar.
Cara pandang di atas sangat sejalan dengan makna berguru sebagai hak setiap insan untuk berbagi dirinya. Jadi, akan lebih tepat bila Pemerintah Pusat beserta Pemerintah Daerah wajib menyediakan acara sekolah 9 tahun yang terjangkau atau, bila mungkin, gratis bagi warganya. Artinya, pemerintah wajib untuk menyediakan pendidikan sekolah bagi warganya. Adalah hak warga negara untuk memanfaatkan penyediaan acara pendidikan tersebut. Adalah hak warga negara untuk berguru dalam acara yang disediakan pemerintah.
Belajar merupakan acara yang mampu berjalan efektif melalui institusi formal menyerupai sekolah maupun tak formal. Seorang anak berguru tidak hanya di dalam kelas sewaktu berinteraksi dengan gurunya, melainkan terjadi pula pada dikala ia bermain dengan temannya atau pada saaat bekerja membantu orang tuanya menjahit, misalnya. Prinsip bahwa berguru tidak perlu melalui institusi formal juga harus diyakini pembuat kebijakan pendidikan nasional.
Namun, bila kita melihat acara warga negara melalui kacamata kekuasaan, yakni dari arah atas ke bawah, maka memang gagasan wajib berguru cocok dengan nuansa instruksi atau perintah. Belajar perlu diperintah. Mungkin dianggapnya, warga negara tidak mau berguru bila tidak diwajibkan. Tetapi, bila kita mau memposisikan setiap warga negara sebagai pelaku utama dalam proses belajar, maka hak berguru akan jauh lebih cerdas dan efektif daripada wajib belajar.
*) Iwan Pranoto - Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Pianist cilik ini menunjukkan salah satu teladan dari hasil belajar;

Belum ada Komentar untuk "Iwan Pranoto: Hak Belajar, Bukan Wajib Belajar"
Posting Komentar