Mengenali Guru Tipe Mediocre

 membacanya saja saya sudah sulit apalagi untuk mendefinisikannya Mengenali Guru Tipe Mediocre
Guru tipe Mediocre, membacanya saja saya sudah sulit apalagi untuk mendefinisikannya. Tipe guru kacang lupakan kulit saya tahu, tapi tipe mediocre ialah tipe guru yang belum pernah saya dengar sebelumnya, agar lebih terang lagi mari kita simak gesekan pena Bapak Sudarsyah Asep di kompasiana tanggal 25 Agustus 2013 kemarin.

“Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak menemukan guru yang tepat untuk menyebarkan potensinya”. Kira-kira begitulah ucapkan Yohanes Surya. Beliau telah berhasil mengantarkan siswa-siswa beprestasi secara internasional.

Begitu pula ucapan Ibrahim Bafadal, “tidak ada siswa yang tidak bisa dididik, yang ada hanya guru yang tidak bisa mendidik. Tidak ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada hanya kepala sekolah yang tidak memimpin”. Saya tulis kembali ungkapan tersebut karena saya menpunyai pemahaman bahwa urusan pokok dari pendidikan ialah profesionalitas guru.

Tentunya, secara konseptual guru profesionalitas menpunyai banyak karakteristik. Bagi orang amis tanah siswa rasanya cukup untuk mengetahui fenomenanya. Pada gesekan pena sebelumnya, saya telah mengutip hasil survey litbang kompas mendapatkan gambaran mengenai guru bertipe mediocre dengan kemampuan pas-pasan yang cenderung satu arah dan belum kreatif ”menerjemahkan” KTSP (Kompas.com, 7 Mei 2013).

Pada gesekan pena itu juga, saya menyebutnya sebagai burnout sebuah keadaan kelelahan mental dengan ciri kedap (inersia) terhadap perubahan atau sebutlah guru “gosong”. Fenomena mediocre atau guru dengan kemampuan biasa biasa saja itu sanggup dipaparkan mirip dibawah ini. Fenomena ini, saya batasi dalam hal kemampuan interaksi pedagogis.

HASIL ULANGAN DIPERIKSA SEADANYA

Siswa membutuhkan umpan balik mengenai kemampuan belajarnya, yang salah satu dengan cara mengatakan koreksi berupa komentar kelemahan dan kelebihannya dalam pencapaian setiap kompetensi. Pengalaman saya berinteraksi dengan guru mengatakan mereka hanya mengatakan nilai kuantitatif berupa angka-angka, tidak mengatakan berita yang bersifat diagnostik sehingga siswa tidak tahu secara detil kompetensi yang harus diperbaikinya.

MEMBERIKAN UMPAN BALIK DENGAN MEMBUAT STREREOTIPE

Menilai menurut persepsi kategorisasi siswa. Banyak ditemukan guru mengatakan label siswa pintar dan bodoh. Semisal, seorang siswa yang tidak bisa merampungkan soal matematika dianggap siswa yang bodoh. Padahal mungkin siswa tersebut lambat menguasainya disebakan masih gundah menemukan cara penyelesaikannya.

Jadi persoalannya bukan bodoh, tetapi belum menemukan perancah (scaffolding) untuk merampungkan soal tersebut. Karena itu guru bertugas membimbing siswa menguasai perancah untuk menyelesaikannya. Jika kata-kata “bodoh” sering diucapkan pada siswa, saya khawatir siswa tersebut benar-benar menjadi bodoh.

BANYAK ALASAN (excuse) dan MENYALAHKAN ORANG LAIN (blame)

Untuk fenomena blame , saya pernah bertanya kepada beberapa guru wacana kemengapaan siswa prestasi belajarnya rendah. Jawabannya senatiasa disebabkan oleh fakfor di luar dirinya, mirip orang amis tanah kurang perhatian, kurang akomodasi berguru di sekolah dan sebagainya. Jawabannya ini tidak salah, tetapi faktor penyebab yang berasal dari kemampuan dirinya tidak diungkapkan, padahal itu mungkin akar penyebabnya.

Hampir mirip dengan blame, excuse merupakan perilaku tidak professional. Karena mereka senantiasa mecari alasan untuk membenarkan tindakan salahnya. Fenomena ini semacan rasionalisasi yang berusaha menutupi kesalahannya. Kata-kata “maaf” sering dilontarkan mirip maaf saya terlambat, maaf saya tidak sempat membuat rencana pembelajaran, maaf saya … dan sebagainya

Last but not least, BANYAK SISWA DIMINTA MENDENGAR DARIPADA BERBUAT

Hampir seluruh waktu di kelas digunakan hanya untuk berceramah. Seolah-olah yakin bahwa siswa akan mendengarkan semua kata yang diucapkannya. Saya jadi ingat Covey, Stephen R (1989) bahwa tidak semua orang sanggup mendengar secara atentif, pasti di kelas terdapat siswa mendengar wacana apa yang ingin didengarnya (menyeleksi berita sesuai dengan keinginannya) atau mendengar melalui pendengaran kiri dan keluar melalui pendengaran kanan.

Dalam kurikulum 2013 pembelajaran dilakukan dengan pendekatan saintifik, program mendengar siswa porsinya sedikit dibanding dengan mengamati dan melakukan. Mudah-mudah fenomena dalam interaksi pedagogis antara guru dan siswa hanya empat di atas, tidak bertambah. Solusi untuk memecahkan masalah tersebut telah banyak tersedia, tetapi menurut saya yang lebih penting ialah guru harus senantiasa melaksanakan repleksi atas pekerjaannya.

Atas dasar repleksi tersebut maka setiap kelemahan selalu diperbaiki. Atau dengan kata lain, guru harus berguru secara terus menerus. Karena itu, perlu internalisasi budaya mutu ke dalam sistem sosial sekolah. Ini merupakan kiprah kepala sekolah sebagai leader. Sebagai leader yang berorientasi untuk mengubah, terutama mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk.

Lihat video kemampuan guru Humbang Hasundutan bernyanyi yang diatas rata-rata;
 membacanya saja saya sudah sulit apalagi untuk mendefinisikannya Mengenali Guru Tipe Mediocre

Belum ada Komentar untuk "Mengenali Guru Tipe Mediocre"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel